I. PENDAHULUAN
Dalam dekade terakhir, dunia psikologi dan pendidikan dikejutkan oleh
berbagai penemuan-penemuan monumental tentang potensi kecerdasan
manusia. Pada abad ke dua puluh, kecerdasan intelektual (IQ) sempat
menemukan momentumnya sebagai satu-satunya alat untuk ‘menakar’ dan
mengukur kecerdasan manusia. Selama bertahun-tahun, kita begitu
terpesona dengan penemuan Barat tentang IQ. Bahwa orang yang cerdas
adalah mereka yang memiliki nilai intelektual yang tinggi yang dapat
diukur secara kuantitatif melalui berbagai tes kecerdasan. For long, the
world gave much importance to intelligence quotient, kata Cherian P.
Tekkeveettil. Sehingga, saat itu, orang tua dengan begitu bangganya
mengatakan : my son has an IQ of 210. He is going to be scientist”.
Namun pada pertengahan 1990-an, Daniel Goleman menunjukkan penemuan
barunya, bahwa kecerdasan manusia tidak hanya bisa diukur dengan IQ; ada
jenis kecerdasan lain yang lebih penting dari IQ, yaitu EQ (Emotional
Quotient).
Baca Selengkapnya
Lebih jauh Goleman mengatakan bahwa EQ is more important than IQ for
success in bussiness and relationship. Ia menunjukkan bukti empiris
dari penelitiannya bahwa orang-orang yang ber-IQ tinggi tidak menjamin
untuk sukses. Sebaliknya, orang yang memiliki EQ, banyak yang menempati
posisi kunci di dunia eksekutif. Maka runtuhlah legenda tentang IQ yang
pernah bertahta dalam kurun waktu yang cukup lama pada abad kedua puluh.
Belum lagi penemuan Goleman ini terasa tuntas dikaji, Di akhir abad
ke-20 (1999-an) Danah Zohar dan Ian Marshall menemukan jenis kecerdasan
lain, third intelligence, the ultimate intelligence, yaitu SQ (Spiritual
Quotient ) atau SI (Spiritual Intelligence). SQ dipandang sebagai
kecerdasan tertinggi manusia, yang dengan sendirinya melampaui segi-segi
kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ).
Kajian makalah ini akan mencoba mengantarkan kita untuk mengetahui apa
sebenarnya yang dimaksud dengan meta kecerdasan, kecerdasan intelektual,
emosional dan spiritual itu, dan bagaimanakah relasi atau hubungan
kerja di antara ketiganya tersebut.
II. META KECERDASAN: INTEGRASI KECERDASAN INTELEKTUAL, EMOSIONAL DAN SPIRITUAL
A. Meta Kecerdasan: Redefinisi Makna Kecerdasan
Istilah meta kecerdasan dibentuk dari kata meta dan kecerdasan. Kata
meta sendiri diadopsi dari bahasa yunani μετά yang berarti after
(setelah), beyond (melebihi/di luar). Dalam bahasa Inggris kata meta
merupakan prefiks yang menunjukkan sebuah konsep yang merupakan
abstraksi dari konsep lain yang digunakan untuk melengkapi atau menambah
konsep yang telah ada sebelumnya. Jadi istilah meta kecerdasan
mengandung pengertian mendefinisikan kembali atau merekonstruksi ulang
konsep tentang kecerdasan yang telah mapan sebelumnya dalam jangka waktu
relatif lama dengan jalan melengkapi atau menambahkan dengan konsep
baru.
Menurut Spearman dan Jones, bahwa ada suatu konsepsi lama tentang
kekuatan (Power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia dengan
gagasan abstrak yang universal, untuk dijadikan sumber tunggal
pengetahuan sejati. Kekuatan demikian dalam bahasa Yunani disebut nous,
sedangkan penggunaan kekuatan termaksud disebut noesis. Kedua istilah
tersebut kemudian dalam bahasa Latin dikenal sebagai intellectus dan
intelligentia, selanjutnya dalam bahasa Inggris masing-masing
diterjemahkan sebagai intellect dan intelligence. Transisi bahasa
tersebut ternyata membawa perubahan yang mencolok. Intelligence, yang
dalam bahasa Indonesia kita sebut inteligensi (kecerdasan), semula
berarti penggunaan kekuatan intelektual secara nyata, tetapi kemudian
diartikan sebagai suatu kekuatan lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian intelligensi banyak mengalami
perubahan, namun selalu mengandung pengertian bahwa intelligensi
merupakan kekuatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu. Para ahli
psikologi lebih suka memusatkan perhatian pada masalah perilaku
inteligen (intelligence behavior), dari pada membicarakan batasan
inteligensi. Mereka beranggapan bahwa intelligensi adalah status mental
yang tidak memerlukan definisi, sedang perilaku inteligen lebih konkret
batasan dan identifikasinya. Di antara cirri-ciri perilaku tersebut
adalah (1) adanya kemampuan memahami dan menyelesaikan problem mental
dengan cepat, (2) kemampuan mengingat, (3) kreatifitas yang tinggi, dan
(4) imajinasi yang berkembang.
Hagenhan dan Oslon mengungkapkan pendapat Piaget tentang kecerdasan yang
didefinisikan sebagai suatu tindakan yang menyebabkan terjadinya
penghitungan atas kondisi-kondisi yang secara optimal bagi organism
dapat hidup berhubungan dengan lingkungan secara efektif.
Feldam mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan memahami dunia,
berfikir secara rasional dan menggunakan sumber-sumber secara efektif
pada saat dihadapkan dengan tantangan, Sementara itu Wechsler
mendefinisikan inteligensi sebagai totalitas kemampuan seseorang untuk
bertindak dengan tujuan tertentu, berfikir secara rasional, serta
menghadapi lingkungan dengan efektif.
Masyarakat umum mengenal intelligence sebagai istilah yang menggambarkan
kecerdasan, kepintaran, kemampuan berfikir seseorang atau kemampuan
untuk memecahkan problem yang dihadapi. Persepsi ini tidak bisa
dipungkiri, apalagi sejarah telah mencatat bahwa sejak tahun 1904, Binet
seorang ahli psikologi berbangsa Perancis telah berhasil membuat suatu
alat untuk mengukur kecerdasan, yang disebut dengan intelligence
Quotient (IQ).
Sejak saat itu, kecerdasan selalu diartikan sempit, yaitu sebagai
kemampuan menyerap, mengolah, mengekspresikan, mengantisipasi dan
mengembangkan hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan, ilmu dan
teknologi. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa kecerdasan diartikan
sebagai kemampuan berfikir. Jadi kecerdasan intelligensi adalah suatu
kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rasional.
Kemampuan ini diukur dengan pengukuran yang bersifat skolastik meliputi
kemampuan logika berfikir dan kemampuan berbahasa. Hasil pengukuran
kemampuan inilah yang disebut dengan intelligence quotient (IQ).
Seiring dengan perkembangan pengetahuan, maka ditemukan tipe kecerdasan
lainnya melalui penelitian-penelitian empiris dan longitudinal oleh para
akademisi dan praktisi psikologi. Setelah 80 tahun IQ diperkenalkan,
Gardner, menentang pendapat lama tentang IQ. Ia merumuskan kecerdasan
sebagai kemampuan menyelesaikan masalah, atau menciptakan produk mode
yang merupakan konsekuensi dalam suasana budaya atau masyarakat
tertentu.
Penelitian Gardner telah menguak rumpun kecerdasan manusia yang lebih
luas dari pada apa yang dipahami dan diyakini sebelumnya, serta
menghasilkan konsep kecerdasan yang sungguh pragmatis dan menyegarkan.
Gardner tidak memandang kecerdasan manusia berdasarkan skor tes standar
semata, namun Gardner menjelaskan kecerdasan sebagai: (1) kemampuan
untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia; (2)
kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk
diselesaikan; (3) kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan
jasa yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya seseorang.
Kemudian Gardner mengemukakan tujuh kecerdasan dasar, yaitu (1)
Kecerdasan Musik (Musical Intelligence); (2) Kecerdasan Gerakan Badan
(Bodily Kinesthetic Intelligence); (3) Kecerdasan Logika Matematika
(Logical Mathematical Intelligence); (4) Kecerdasan Linguistik
(Linguistic Intelligence); (5) Kecerdasan Ruang (Spatial Intelligence);
(6) Kecerdasan Antarpribadi (Interpersonal Intelligence); (7) Kecerdasan
Intrapribadi (Intrapersonal Intelligence).
Konsepsi Gardner banyak menginspirasi ahli-ahli lain untuk meneliti
lebih jauh tentang kecerdasan majemuk ini, sehingga lahirlah tipe-tipe
kecerdasan lain yang mungkin belum tercakup dalam kriteria kecerdasan
yang dirumuskan oleh Gardner. Dalam kaitan inilah, meta kecerdasan
menunjukkan perspektif yang lebih luas tentang makna kecerdasan. Meta
kecerdasan dapat diartikan sebagai sebuah konsep untuk memunculkan atau
menghadirkan konsep lain dengan jalan menambahkan pada konsep kecerdasan
yang lama. Kecerdasan tidak hanya dipandang sebatas kecerdasan
intelektual semata, tetapi dengan meta kecerdasan, kecerdasan dikaji
sebagai fakta yang beragam adanya. Kecerdasan bersifat multiple.
B. Pemetaan Tiga Paradigma Kecerdasan.
1. Paradigma Kecerdasan Intelektual (IQ)
Selama ini kita hanya diperkenalkan dengan IQ sebagai standar pertama
dan utama kecerdasan kita. Semakin tinggi tes IQ kita, pada umumnya kita
pun dikatakan memiliki kualitas kecerdasan intelektual yang tinggi dan
kemudian kita, untuk mudahnya, dianggap sebagai orang “pintar” dan
bahkan “brilian”. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tes IQ kita,
semakin rendah pula derajat kecerdasan intelektual kita, dan kemudian
kita dicap sebagai orang bodoh.
Dalam paradigma IQ, kecerdasan seseorang ditentukan melalui tes
kecerdasan yang populer dengan sebutan School Aptitude Test (SAT).
Howard Gardner, ahli psikologi Harvard School of Education, Amerika
Serikat mengakui bahwa masa-masa kejayaan tes IQ dimulai sejak Perang
Dunia I, saat dua juta pria Amerika dipilih melalui tes IQ pertama
secara massal. Tes IQ tersebut baru saja selesai disusun oleh Lewis
Terman, seorang ahli psikologi dari Universitas Stanford. Ini
mengantarkan kita menuju dekade-dekade yang oleh Gardner disebut
sebagai “cara berfikir IQ”: “bahwa orang itu entah cerdas atau tidak
terlahir secara demikian; bahwa tak ada banyak hal yang dapat dilakukan
untuk mengubahnya. Dengan kata lain kecerdasan bersifat taken for
granted”.
IQ adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental.
Unsur-unsur yang terdapat di dalam IQ adalah kecerdasan numeris,
pemahaman verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran
deduktif,visualisasi ruang, ingatan. Menurut David Wechsler (Staff
IQ-EQ), inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah,
berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif.
Kecerdasan intelektual adalah kemampuan intelektual, analisa, logika
dan rasio. Ia merupakan kecerdasan untuk menerima, menyimpan dan
mengolah infomasi menjadi fakta. Orang yang kecerdasan intelektualnya
baik, baginya tidak ada informasi yang sulit, semuanya dapat disimpan
dan diolah, untuk pada waktu yang tepat dan pada saat dibutuhkan diolah
dan diinformasikan kembali. Proses menerima , menyimpan, dan mengolah
kembali informasi, (baik informasi yang didapat lewat pendengaran,
penglihatan atau penciuman) biasa disebut "berfikir". Secara garis besar
dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang
melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi
tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari
berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir
rasional itu.
Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas sebagian kecil otak.
Kecerdasan intelektual terletak di otak bagian Cortex (kulit otak).
Lapisan luar otak (neo-cortex) hanya dimiliki oleh manusia, tidak
dimiliki oleh makhluk lain. Otak adalah organ luar biasa dalam diri
manusia. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total
berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih
dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di dalam tubuh.
Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf
mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus
berkembang sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang
sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius
memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan
sisa memori sekitar 94 %.
Model kecerdasan IQ banyak diilustrasikan dengan komputer yang memiliki
tingkat “IQ” yang tinggi, karena dapat beroperasi dengan cepat, hampir
tanpa kesalahan sama sekali. Kualitas (otak) kecerdasan manusia yang
memiliki tingkat IQ yang tinggi seringkali diumpamakan dengan tingkat
kecanggihan “kecerdasan” komputer. Tentu saja harus diakui bahwa otak
manusia jelas jauh lebih kompleks dibandingkan dengan komputer. Otak
tersusun dari daging dan darah, sementara komputer dibuat dari cip
silikon. Otak dapat difungsikan untuk berfikir secara rasional,
sementara komputer difungsikan sebagai mesin berfikir secara mekanistis.
2. Paradigma Kecerdasan Emosional (EQ)
Paradigma kecerdasan intelektual (IQ) sebagai satu-satunya parameter
kecerdasan manusia runtuh tatkala fakta empiris dari temuan riset
berbicara lain. Sejak dipublikasikannya Emotional Intelligence (EQ)
tahun 1995, temuan riset terbaru Goleman yang mengagumkan berhasil
menjungkirbalikkan mitos selama ini. Risetnya menunjukkan bagaimana
banyak orang-orang yang ber-IQ tinggi gagal dan orang-orang yang ber-IQ
sedang-sedang justru menjadi sukses. Pasti ada faktor lain untuk menjadi
cerdas, yang kemudian dipopulerkan oleh Goleman dengan kecerdasan
emosional (EQ). Goleman berkesimpulan bahwa setinggi-tingginya IQ hanya
menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan
sukses dalam hidup, sementara yang 80 persen diisi oleh faktor-faktor
kecerdasan lain yang disebutnya sebagai kecerdasan emosional.
Memang agak sedikit aneh dan menjadi pertanyaan besar, bagaimana membawa
kecerdasan pada emosi? atau sebaliknya bagaimana membawa emosi ke
wilayah kecerdasan. Fakta selama ini sering berbicara lain, emosi kerap
kali membawa kita pada sikap amarah. Padahal amarah itu sendiri lazimnya
menjerumuskan kita pada sikap tak terpuji. Sebenarnya, dengan paradigma
kecerdasan emosional (EQ), emosi kita hendak dikenali, disadari,
dikelola, dimotivasi, dan bahkan diarahkan pada kecerdasan.
Emosi adalah persepsi perubahan jasmaniah yang terjadi dalam memberikan
tanggapan (respons) terhadap suatu peristiwa. Kata Emosi secara
sederhana bisa didefinisikan sebagai menerapkan “gerakan” baik secara
metafora maupun harfiyah, untuk mengeluarkan perasaan. Emosi pada
dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk
mengatasi masalah yang ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi.
Emosi sejak lama dianggap memiliki kedalaman dan kekuatan sehingga
dalam bahasa latin, emosi dijelaskan sebagai motus anima yang arti
harfiyahnya “jiwa yang menggerakkan kita”. Berlawanan dengan kebanyakan
pemikiran konvensional, menurut Cooper dan Sawaf, emosi bukan sesuatu
yang bersifat positif atau negatif, tetapi emosi berlaku sebagai sumber
energi autentisitas, dan semangat manusia yang paling kuat dan dapat
menjadi sumber kebijakan intuitif. Dengan kata lain, emosi tidak lagi
dianggap sebagai penghambat dalam hidup kita, melainkan sebagai sumber
kecerdasan, kepekaan, kedermawanan, bahkan kebijaksanaan.
Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi
diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan
hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan
menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir;
berempati dan berdo’a.
Menurut Saphiro, istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan pada
tahun 1990 oleh dua orang ahli, yaitu Peter Salovey dan John Mayer untuk
menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang dianggap penting untuk
mencapai keberhasilan. Jenis-jenis kualitas emosi yang dimaksudkan
antara lain: (1) empati, (2) mengungkapkan dan memahami perasaan, (3)
mengendalikan amarah, (4) kemampuan kemandirian, (5) kemampuan
menyesuaikan diri, (6) diskusi, (7) kemampuan memecahkan masalah
antarpribadi, (8) ketekunan, (9) kesetiakawanan, (10) keramahan, dan
(11) sikap hormat.
Teori lain dikemukakan oleh Reuven Bar-On, sebagaimana dikutip oleh
Steven J. Stein dan Howard E. Book, ia menjelaskan bahwa kecerdasan
emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan
nonkognitif yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil
mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Selanjutnya, Steven J. Stein
dan Howard E. Book menjelaskan pendapat Peter Salovey dan John Mayer,
pencipta istilah kecerdasan emosional, bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan
untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan
mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan
emosi dan intelektual.
Keterampilan kecerdasan emosi bekerja secara sinergi dengan
keterampilan kognitif, orang-orang yang berprestasi tinggi memiliki
keduanya. Makin kompleks pekerjaan, makin penting kecerdasan emosi.
Emosi yang lepas kendali dapat membuat orang pandai menjadi bodoh. Tanpa
kecerdasan emosi, orang tidak akan mampu menggunakan kemampuan kognitif
mereka sesuai dengan potensi yang maksimum.
Kecerdasan emosional bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih,
tetapi dari pekerjaan hati manusia. Emotional Intelligence bukanlah
trik-trik tentang penjualan atau menata sebuah ruangan, dan bukan
tentang memakai topeng kemunafikan atau psikologi untuk mengendalikan,
mengeksploitasi, atau memanipulasi seseorang.
Berbeda dari IQ yang merupakan faktor genetik sehingga tidak dapat
berubah dan dibawa sejak lahir, EQ dapat disempurnakan dengan
kesungguhan, pelatihan, pengetahuan, dan kemauan.
Goleman menjelaskan pendapat Salovey yang menempatkan kecerdasan pribadi
Gardner sebagai dasar dalam mendefinisikan kecerdasan emosional yang
dicetuskannya. Dalam hal ini Salovey memperluas kemampuan kecerdasan
emosional menjadi lima wilayah utama, yaitu sebagai berikut:
a. Mengenali emosi diri. Intinya adalah kesadaran diri, yaitu mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Ini merupakan dasar kecerdasan
emosional. Kesadaran diri adalah perhatian terus-menerus terhadap
keadaan batin seseorang.
b. Mengelola Emosi. Yaitu menangani perasaan agar perasaan dapat
terungkap dengan pas. Kecakapan ini bergantung pula pada kesadaran diri.
Mengelola emosi berhubungan dengan kemampuan untuk menghibur diri
sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan, dan
akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan emosional dasar.
c. Memotivasi diri sendiri. Termasuk dalam hal ini adalah kemampuan
menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam kaitan untuk
memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri
sendiri dan untuk berkreasi, begitu juga kemampuan untuk pengendalian
diri.
d. Mengenali emosi orang lain. Kemampuan empati yaitu kemampuan untuk
mengetahui bagaimana perasaan orang lain, ikut berperan dalam pergulatan
dalam arena kehidupan.
e. Membina hubungan. Seni membina hubungan sebagian besar merupakan
keterampilan mengelola orang lain. Keterampilan ini menunjang
popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi.
Sementara itu, Steven J. Stein dan Howard E. Book menjelaskan penemuan
Reuven Bar-On yang merangkum kecerdasan emosional dan dibaginya ke dalam
lima area atau ranah yang menyeluruh, dan 15 subbagian atau skala.
Kelima ranah kecerdasan tersebut, yaitu (1) ranah intrapribadi,
meliputi: kesadaran diri, sikap asertif, kemandirian, penghargaan diri,
dan aktualisasi diri; (2) ranah antarpribadi, meliputi: empati, tanggung
jawab sosial, hubungan antarpribadi; (3) ranah penyesuaian diri,
mencakup: Uji realitas, sikap fleksibel dan pemecahan masalah; (4) ranah
pengendalian stress, meliputi: ketahanan menanggung stress,dan
pengendalian impuls; (5) ranah suasana hati umum, terdiri dari:
optimisme, kebahagiaan.
Dalam bahasa agama , EQ adalah kepiawaian menjalin "hablun min al-nās".
Pusat dari EQ adalah "qalbu". Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling
dalam, mengubah sesuatu yang dipikirkan menjadi sesuatu yang dijalani.
Hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh otak.
Hati adalah sumber keberanian dan semangat , integritas dan komitmen.
Hati merupakan sumber energi dan perasaan terdalam yang memberi dorongan
untuk belajar, menciptakan kerja sama, memimpin dan melayani.
3. Paradigma Kecerdasan Spiritual (SQ).
Wacana kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) merupakan temuan paling
mutakhir di antara jenis Quotient yang lain. Kecerdasan ini pertama
kali digagas oleh Danar Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari
Harvard University dan Oxford University. SQ mulai populer pada awal
abad 21 melalui tulisan Danar Zohar dalam bukunya Spiritual Capital dan
berbagai tulisan lainnya.
Kecerdasan spiritual diyakini sebagai kecerdasan yang paling utama
dibandingkan dengan berbagai jenis kecerdasan yang lain. Kata spiritual
memiliki akar kata spirit yang berarti roh atau jiwa. Kata ini berasal
dari bahasa Latin, spiritus, yang berarti napas. Roh bisa diartikan
sebagai energi kehidupan yang membuat manusia dapat hidup, bernapas dan
bergerak. Spiritual berarti pula segala sesuatu di luar fisik, termasuk
pikiran, perasaan, dan karakter kita.
Kecerdasan spiritual berarti kemampuan seseorang untuk dapat mengenal
dan memahami diri seseorang sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun
sebagai bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual
berarti bisa memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita
jalani dan ke manakah kita akan pergi.
Dalam beberapa bagian bukunya Zohar dan Marshal mencoba menyoroti
hubungan antara agama dan SQ. Pada umumnya orang beranggapan bahwa SQ
selalu berhubungan dengan agama. Menurut keduanya, SQ berbeda dengan
agama. Agama merupakan aturan-aturan dari luar sedangkan SQ adalah
kemampuan internal. Sesuatu yang menyentuh dan membimbing manusia dari
dalam. SQ mampu menghubungkan manusia dengan ruh esensi di belakang
semua agama. Orang yang SQ-nya tinggi tidak picik dan fanatik atau penuh
prasangka dalam beragama.
Pengertian spiritualitas yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshall tidak
selalu mengkaitkan dengan masalah ketuhanan, sebab menurut mereka
seorang yang humanis ataupun atheis pun dapat memiliki spiritualitas
tinggi. Bagi mereka, kecerdasan spiritual lebih banyak terkait dengan
masalah makna hidup, nilai-nilai dan keutuhan diri. Kesemuanya tidak
perlu berkait dengan masalah ketuhanan. Orang dapat menemukan makna
hidup dari bekerja, belajar, berkarya bahkan ketika menghadapi
problematika dan penderitaan. Di sini tampak bahwa Zohar dan Marshall
menempatkan agama hanya sebagai salah satu cara mendapatkan SQ tinggi.
Pemahaman spiritualitas yang semacam ini tentu banyak mendapat koreksi
dan kritikan dari ahli lain.
Zohar dan Marshall mengikutsertakan aspek konteks nilai sebagai suatu
bagian dari proses berpikir/berkecerdasan dalam hidup yang bermakna,
untuk ini mereka mempergunakan istilah kecerdasan spiritual. Kecerdasan
spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau
value, yakni kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam
konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan
atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain.
Dapat juga dikatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan
untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan,
melalui langkah- langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya
menggapai kualitas hanif dan ikhlas . SQ adalah suara hati Ilahiyah
yang memotivasi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat.
Dr. Marsha Sinetar, yang terkenal luas sebagai pendidik, pengusaha dan
penulis buku-buku best seller, menafsirkan kecerdasan spiritual sebagai
pemikiran yang terilhami. Kecerdasan spiritual adalah cahaya, ciuman
kehidupan yang membangunkan keindahan tidur kita. Kecerdasan spiritual
membangunkan orang-orang dari segala usia, dalam segala situasi.
Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset
yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset
yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan
adanya God Spot atau God Module dalam otak manusia, yang sudah secara
built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak
diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang
dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak
manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi
makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal
mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada
God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam.
Menurut Roberts A. Emmons dalam buku The Psychology of Ultimate
Concerns, ada lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual
yaitu kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material,
kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, kemampuan
untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, kemampuan untuk menggunakan
sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk
berbuat baik. Menurut Emmons, dua karakteristik yang pertama sering
disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual.
Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup
hanya secara rasional atau emosional saja. Dia menghubungkannya dengan
makna kehidupan secara spiritual. Dia merujuk pada warisan spiritual
seperti teks-teks Kitab Suci untuk memberikan penafsiran pada situasi
yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi.
Orang yang ber SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi
makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang
dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu
membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Manusia yang memiliki SQ tinggi cenderung akan lebih bertahan hidup
dari pada orang yang ber SQ rendah. Banyak kejadian-kejadian bunuh diri
karena masalah yang sepele, mereka yang demikian itu tidak bisa memberi
makna yang positif sari setiap kejadian yang mereka alami dengan kata
lain SQ atau kecerdasan spiritual mereka sangat rendah.
C. Keterkaitan dan Hubungan Kerja antara IQ, EQ dan SQ
Setelah memetakan tiga paradigma kecerdasan, yakni kecerdasan
intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual
(SQ), berikutnya akan coba dibahas konstruksi atau pola relasi diantara
ketiganya. Pola relasi ini mengandaikan terjadinya relasi positif antara
IQ, EQ dan SQ, meskipun tetap mengakui adanya diferensiasi.
Sadar atau tidak, potensi kecerdasan intelektual, emosional dan
spiritual itu ada dalam keseluruhan diri kita sebagai manusia.
Kecerdasan intelektual mencakup unsur logis (matematika) dan linguistik
(verbal atau bahasa). Kecerdasan emotional mencangkup unsur
interpersonal dan intrapersonal. Sementara kecerdasan spiritual adalah
bagaimana mengkhayati dan mengabdikan diri –beribadah- kepada khalik
(sang pencipta).
Ketiga tipe kecerdasan tersebut akan berfungsi maksimal jika saling
berkaitan erat satu sama lain. Menurut Ary Ginanjar Agustian, Semua
potensi kecerdasan itu akan terintegrasi apabila orientasi hidup kita
adalah ketauhidan, menerima Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup.
Namun jika orientasi hidup kita adalah materi, maka tiga potensi
kecerdasan tersebut akan terpisah.
Selanjutnya ia menjelaskan, jika kita berorientasi pada materi, saat
masalah datang pada kita, radar hati akan bereaksi menangkap sinyal
emosi yang tidak terkendali, dan muncul rasa marah, sedih, kesal dan
takut. Akibat emosi yang tidak terkendali god spot menjadi terbelenggu
dan suara hati ilahiyah tidak memiliki peluang untuk muncul dan
didengar, sehingga suara hati yang bersifat mulia itu (SQ) tidak mampu
berkolaborasi dengan kecerdasan lainnya (EQ dan IQ). Saat suara hati
tertutup, emosi akan memerang peranan. Emosilah yang akan memberi
perintah pada kecerdasan intelektual. IQ selanjutnya akan menghitung,
tapi berdasarkan dorongan kemarahan, kekecewaan, kesedihan, iri hati dan
kedengkian. Yang terjadi kemudian adalah kekacauan dan masalah tidak
mampu dicari solusinya.
Berbeda halnya ketika orientasi kita kepada ketauhidan. ketika masalah
atau tantangan muncul, radar hati langsung menangkap getaran sinyal.
Ketika sinyal itu menyentuh dinding tauhid, kesadaran tauhid akan
mengendalikan emosi. Hasilnya adalah emosi yang terkendali seperti rasa
tenang. Dengan emosi yang terkendali, God Spot akan terbuka dan bisa
bekerja. Maka terdengarlah bisikan-bisikan ilahiyah yang mengajak kepada
sifat-sifat keadilan, kasih-sayang, kejujuran, kepedulian dan lainnya.
Dengan dorongan sifat mulia itu, potensi kecerdasan intelektual bekerja
optimal, dengan melakukan perhitungan yang berlandaskan pada nilai-nilai
mulia suara hati. Inilah yang disebut dengan meta kecerdasan, yaitu
integrasi EQ, IQ dan SQ.
Ketauhidan mampu menstabilkan tekanan amygdala (sistem saraf pusat),
sehingga emosi terkendali (EQ tinggi). Emosi yang terkendali akan
mengoptimalkan fungsi kerja God Spot pada lobus temporal, serta
mengeluarkan potensi suara hati ilahiyah. Suara hati ilahiyah itu member
informasi penting sehingga manusia mampu menghasilkan keputusan sesuai
garis orbit spiritualitas (SQ tinggi). Maka langkah konkret mampu
diambil, berupa perhitungan logis (IQ), yang bergerak pada manzilah,
atau garis edar yang mengorbit pada Allah Yang Maha Esa (SQ).
Dalam perspektif neuroscience Ketiga bentuk kecerdasan ini (IQ, EQ, dan
SQ), mempunyai akar-akar neurobiologis di otak manusia. Fakta
menyatakan bahwa otak menyediakan komponen anatomisnya untuk aspek
rasional (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Ini artinya secara
kodrati, manusia telah disiapkan dengan tiga aspek tersebut. Kecerdasan
emosional ada di sistem limbik, alias otak dalam, yang terdiri dari
thalamus, hypothalamus dan hippocampus. Kecerdasan intelektual ada di
korteks serebrum atau otak besar. Sedangkan kecerdasan spiritual
mempunyai dasar neurofisiologis pada osilasi frekuensi gamma 40 Hertz
yang bersumber pada integrasi sensasi-sensasi menjadi persepsi
obyek-obyek dalam pikiran manusia.
Dalam perspektif Islam, dikenal istilah aql, qalb dan fuad sebagai pusat
IQ , EQ dan SQ menunjukkan bahwa Islam memberikan apresiasi yang sama
terhadap ketiga sistem kecerdasan tersebut. Hubungan ketiganya dapat
dikatakan saling membutuhkan dan melengkapi . Namun kalau akan
dibedakan, maka SQ merupakan "Prima Causa" dari IQ dan EQ. SQ
mengajarkan interaksi manusia dengan al-Khaliq , sementara IQ dan EQ
mengajarkan interaksi manusia dengan dirinya dan alam di sekitarnya.
Tanpa ketiganya bekerja proporsional, maka manusia tidak akan dapat
menggapai statusnya sebagai "Khalifah" di muka bumi. Oleh karena Islam
memberikan penekanan yang sama terhadap "hablun min Allāh" dan "hablun
min al-nās", maka dapat diyakini bahwa keseimbangan IQ, EQ dan SQ
merupakan substansi dari ajaran Islam. Penggabungan ketiga hal ini akan
menghasilkan manusia-manusia paripurna yang siap menghadapi hidup dan
menghasilkan efek kesuksesan atas apa yang dilakukannya.
IQ, EQ & SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem
yang saling terkait (interconnected) di dalam diri kita, sehingga tidak
mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan orang
lain tetap membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan
yang tetap membutuhkan otak dan perasaan. mengabaikan salah satu dari
ketiga bentuk kecerdasan berbasis neuroscience di atas adalah sesuatu
kekeliruan, demikian juga jika mengagungkan salah satu diantaranya
merupakan kesalahan. Pentingnya keseimbangan ketiga kecerdasan ini untuk
menjadi seorang yang paripurna .
Penggabungan antara kecerdasan spiritual dengan kecerdasan intelektual
dalam berbagai hal akan melahirkan “idealisme” dalam diri yang dalam
konstektualnya lebih benyak membentuk wilayah-wilayah individual (catra
pribadi). Sedangkan penggabungan antara ketiga kecerdasan tersebut yakni
intelektual-spiritual dan emosional memunculkan tipe-tipe kecerdasan
baru hingga pencapaian kecerdasan dialektis.
III. PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat kami tarik beberapa simpulan sebagai berikut:
1. Meta kecerdasan adalah konsep kecerdasan dengan perspektif majemuk.
Kecerdasan tidak hanya ditakar dari kecerdasan intelektualnya IQ) saja,
tetapi bahwa manusia ternyata juga memiliki potensi kecerdasan lain yang
bahkan lebih penting yaitu kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan
spiritual (SQ).
2. Kecerdasan intelektual (IQ) adalah suatu kemampuan mental yang
melibatkan proses berpikir secara rasional. Sedangkan Kecerdasan emosi
(EQ) merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri
dan bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati dan
tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga
agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir; berempati dan
berdo’a. Adapun Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk
menghadapi persoalan makna atau value, yakni kecerdasan untuk
menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas.
Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibanding dengan yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa
kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah
terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah- langkah dan
pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya menggapai kualitas hanif dan
ikhlas.
3. IQ, EQ & SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan
sistem yang saling terkait (interconected) di dalam diri kita, sehingga
tidak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya. Kecerdasan spiritual
merupakan kecerdasan tertinggi, karena ia bisa menjembatani dan lebih
memfungsikan dua kecerdasan lain yaitu IQ dan EQ secara lebih efektif.
Hubungan ketiganya dapat dikatakan saling membutuhkan dan melengkapi.
Namun jika hendak dibedakan, maka SQ merupakan prima causa dari IQ dan
EQ. Kecerdasan spiritual mengajarkan interaksi manusia dengan al-Khaliq,
sementara IQ dan EQ mengajarkan interaksi manusia dengan dirinya dan
alam sekitarnya.
B. Penutup
Demikian makalah sederhana ini kami susun, tentunya banyak terdapat
kekurangan dan kelemahan. Untuk itu saran, masukan dan kritik
konstruktif kami sangat harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan
makalah ini.