Senin, 23 Januari 2017

Perlunya Pendidikan Humanis Religius di Madrasah


Masyarakat Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai krisis yang belum bisa teratasi secara tuntas. Dunia pendidikan juga tak luput dihinggapi krisis tersebut yaitu dengan adanya krisis karakter yang ditunjukkan dengan maraknya kasus-kasus pelanggaran norma, kenakalan remaja, dan kehidupan yang semakin bebas dan jauh dari nilai-nilai agama.
Pendidikan memiliki kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan struktur bangunan pemikiran seseorang hingga terbangun struktur kepribadian. Struktur tersebut akan menentukan pola pikir dan pola perilaku kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan bisa dikatakan ikut menentukan kualitas sumber daya manusia.
Saat ini aspek kognitif cenderung mendominasi aktivitas pendidikan, sehingga belum mengarah pada pembangunan sikap mental dan pembentukan karakter. Dalam proses pembelajaran, siswa haya dijadikan obyek pasif yang sekedar menerima pengetahuan yang dipaksakan guru. Pada intinya pendidikan masih berorientasi pada nilai angka daripada pengembangan kepribadian.
Karena itu perlu dikembangkan alternatif untuk mengatasi krisis karakter dengan konsep pendidikan humanis religius. Dengan konsep ini diharapkan pendidikan bisa menghargai kemerdekaan anak, nilai-nilai moral, spiritual, dan keagamaan siswa. Selain itu, dengan menghargai nilai kemausiaan, konsep ini juga bisa meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Konsep pendidikan yang humanis berbasis lima nilai dasar yaitu nilai kebebasan, kerja sama, kreativitas, kejujuran, dan aktualisasi diri. Sedangkan konsep pendidikan yang religius secara bertahap mengandung lima dimensi, yaitu dimensi pengeyahuan, keimanan, keagamaan, pengamalan keagamaan, dan penghayatan keagamaan.
Pengembangan pendidikan humanis religius dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas dilakukan dengan menyediakan sarana yang memadai, menciptakan suasana belajar yang nyaman, membangun guru yang berwibawa, dan berkarakter. Selain itu, penyelenggaraan proses pendidikan haruslah konstruktif dan membangun lingkungan belajar yang kondusif.
Pendidikan humanis religius berupaya mengembangkan segenap potensi yang dimiliki individu dengan berbasis pada nilai dasar kehidupan, yakni kebebasan yang bertanggungjawab dengan mengaitkan segala aktivitas yang dilakukan secara vertikal berupa nilai-nilai ketuhanan. Pendidikan bukanlah aktivitas bebas nilai, justru menjadi sarana untuk mengantarkan seeorang menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama, dan hamba Allah yang mulia.
Konsep ini dapat diterapkan dalam proses KBM dengan penyediaan sarana prasarana yang memadai, menciptakan suasana KBM yang nyaman, guru yang berwibawa dan berkarakter, dan membangun lingkungan belajar yang kondusif.
Secara khusus pengembangan konsep ini dilakukan di madrasah melalui KBM yang mengembangkan nilai, menghidupkan nilai dengan memberikan pengalaman kepada siswa dalam berbagai aktivitas dan kegiatan kemudian dengan terjanganya lingkungan yang kondusif bagi pengembangan siswa.
Faktor penentu madrasah yang humanis religius antara lain kepala sekolah sebagai motivator, guru sebagai penggerak, program kegiatan yang beragam, sarana prasarana KBM yang memadai, kultur budaya madrasah yang kondusif, lingkungan sosial yang mendukung, dan orang tua yang responsif. Untuk menegembangkan lembaga yang seuai konsep ini bisa dilakukan dengan pemantapan visi madrasah, pembentukan tim inti, menjadikan kelas sebagai imbas, hingga terbangun sebuah lembaga yang humanis religius yang berimplikasi terbentuknya alumni yang berkualitas.
  (Disarikan dari Disertasi Dr. Hibana, S.Ag., M.Pd. di PPs UNY)

Sabtu, 21 Januari 2017

Madrasah dan Mobilitas Kontes (Upaya menuju Madrasah yang Kompetitif)


PENDAHULUAN

Madrasah merupakan bagian dari aset bangsa yang secara regional maupun nasional telah menunjukkan perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Data nasional yang dirilis Departemen Agama tahun 2007 menunjukkan terdapat kelembagaan madrasah yang jumlahnya cukup signifikan. Jumlah Madrasah Ibtidaiyah (MI) ada 22.610, dari jumlah itu MI Swasta mencapai 21.042 atau 93,07%, sedangkan MI Negeri hanya 1.569 buah atau 6,93%. Kemudian jumlah Madrasah Tsanawiyah (MTs) ada 12.498, dari jumlah itu, 11.234 atau 89,89% MTs berstatus swasta, dan MTs Negeri hanya 1.264 buah atau 10,11%. Pada tingkat Madrasah Aliyah (MA), secara keseluruhan jumlah MA 4.918 buah, dari jumlah tersebut, 4.278 atau 86,98% di antaranya berstatus swasta, sedangkan MA Negeri hanya 640 buah atau 13,02%. Jumlah madrasah ini secara kuantitas mempunyai kecenderungan bertambah terus rata-rata mencapai 3% per tahun.
Eksistensi madrasah tampaknya memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan itu adalah dominasi swasta pada penyelenggaraan madrasah. Hal ini membawa implikasi bahwa pasang surut madrasah sangat bergantung pada kondisi dan dinamika masyarakat setempat. Semakin maju tingkat perekonomian dan kualitas keberagamaan masyarakat setempat, maka akan semakin baik kualitas dan penyelenggaraan madrasah.
Read more..
Begitu pun sebaliknya. Padahal, berdasarkan data pada Direktorat Pendidikan Madrasah Depag pusat, sebanyak 84% siswa madrasah berasal dari kalangan kurang mampu. Realitas ini tentu menimbulkan implikasi madrasah sulit mengembangkan kelembagaannya. Direktur Pendidikan Madrasah Departemen Agama Drs H. Firdaus, MPd. menyatakan, permasalahan yang selama ini dihadapi oleh madrasah adalah persoalan mutu pendidikan. Masyarakat selama ini memberikan image bahwa madrasah dianggap sebagai lembaga pendidikan kelas dua dibanding dengan pendidikan di sekolah umum.
Persoalan mutu ini menjadi hal yang urgen sekali terlebih di era globalisasi seperti saat ini. Globalisasi telah melahirkan masyarakat global (global comunity) atau dalam istilah Marshal McLuhan disebut sebagai global village (Desa Buana), sebuah komunitas yang tidak lagi bisa dihalangi oleh batas geografis suatu negara untuk berinteraksi dan berkomunikasi (borderless society). Globalisasi membuat dunia menjadi transparan akibat perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya sistem informasi satelit. Arus globalisasi lambat laun semakin meningkat dan menyentuh hampir setiap aspek kehidupan sehari-hari. Maka muncullah konfigurasi globlalisasi yang meliputi Globalisasi informasi dan komunikasi, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas, globalisasi gaya hidup, globalisasi media massa, serta globalisasi politik.
Masuknya perdagangan bebas menciptakan suasana kompetisi dalam setiap aspek kehidupan. Persaingan menjadi kata kunci yang menghiasi dunia keseharian masyarakat. Dalam logika hukum persaingan, kemenangan akan selalu berpihak kepada orang yang memiliki nilai lebih (baca: mutu yang lebih baik) dari pada pesaingnya. Dengan demikian, era globalisasi dengan sendirinya membawa terciptanya mobilitas kontes, yakni persaingan sengit dan terbuka dalam semua lini kehidupan.
Kalau kita ingin memenangkan persaingan dalam masyarakat global ini, kita harus memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dalam makna seluas-luasnya. Di sinilah kita harus benar-benar menyadari peran strategis sebuah institusi pendidikan, termasuk di dalamnya madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional sekaligus aset bangsa. Sebuah institusi pendidikan diyakini sebagai tempat yang paling tepat untuk membina, menempa, dan membentuk sebuah generasi masa depan yang berkualitas. Dengan demikian, ketika sebuah institusi pendidikan berkualitas, maka biasanya kualitas para lulusannya akan menggambarkankan kualitas intitusi tempat dimana dia belajar.
Makalah ini akan mencoba mengkaji Bagaimana realitas empiris dunia pendidikan di madrasah? Bagaimana realitas kualitas madrasah dalam hubungannya dengan mobilitas kontes? Serta apa yang harus dilakukan madrasah dalam menghadapi realitas kontestasi yang ketat tersebut?

MADRASAH DI INDONESIA: DINAMIKA DAN PROBLEMATIKA
Istilah Madrasah: Perspektif Historis.
Jika dikaji dari pengertian etimologis, istilah madrasah merupakan isim makan (nama tempat), berasal dari kata darasa, yang bermakna tempat orang belajar. Dari akar makna tersebut kemudian berkembang menjadi istilah yang kita pahami sebagai tempat pendidikan, khususnya yang bernuansa agama Islam.
Mahmud Yunus menyatakan bahwa untuk menelusuri asal-usul kata madrasah adalah hal yang sulit. Dari perspektif pendidikan Islam, kata madrasah mempunyai asal-usul yang panjang dan terdapat beberapa teori. Paling tidak terdapat tiga teori untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, sejalan dengan pertumbuhan dan penyebaran agama Islam di wilayah baru, selalu dibarengi dengan penyampaian dakwah kepada masyarakatnya, sehingga muncul tempat-tempat pendidikan. Dari tempat itulah muncul istilah madrasah. Kedua, madrasah muncul pertama kali dari madrasah nidhâmiyah (±1064 M), yakni lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh Nidhâm al-Mulk (w. 485 H/1092 M) wazir Malik Syah (1072-1092 M) dari dinasti Saljuk. Dengan munculnya istilah madrasah Nidhâmiyah tersebut baru diikuti oleh madrasah-madrasah lain. Pendapat ini banyak diikuti oleh sejarawan masa lalu, khususnya sejarawan pendidikan Islam. Ketiga, madrasah yang muncul pertama kali dalam sejarah peradaban Islam adalah Madrasah Baihaqiyah (± 400 H/1009 M) yang didirikan oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqi (w. 1023 M). pendapat ini banyak didukung oleh sejarawan kontemporer.
Ketiga teori tersebut sebenarnya mempunyai kaitan mata rantai yang tidak terputus satu dengan lainnya. Pertama, bahwa aktifitas kependidikan Islam menggunakan berbagai tempat, seperti masjid, istana, rumah-rumah ulama dan lainnya. Pada abad pertengahan, ketika masing-masing madzhab mencoba untuk mengajarkan pokok-pokok pikirannya yang disampaikan oleh seorang ulama (mudarris) penganut dari salah satu madzhab membentuk halaqah-halaqah mengambil tempat di sudut-sudut ruangan masjid dan dari sini muncullah istilah madrasah yang dihubungkan dengan nama madzhab. Seperti madrasah Maliki, Hanafi, Syafi’i atau Hambali. Kedua, perkembangan selanjutnya, setelah kondisi dan situasi masyarakat muslim semakin mapan-ditandai dengan pembangunan sarana prasarana untuk menunjang aktifitas pemerintah maupun sosial- memunculkan gagasan pemisahan fungsi masjid sebagai tempat ibadah dan sebagai tempat belajar. Tempat-tempat inilah yang dipandang al-Markizi, Bulliet, Naji Makruf, al-Suyuthi dan lainnya merupakan madrasah pertama. Madrasah-madrasah yang dimaksud di antaranya seperti dikemukakan al-Subki yang dilansir oleh Abdurrahman Mas’ud, bahwa setidaknya ada empat madrasah yang muncul lebih awal dibandingkan dengan madrasah Nidhâmiyah, yakni Madrasah Baihaqiyah, Madrasah al-Sa’diyah, Madrasah Abu Sa’d al-Astarobadi dan Madrasah Abu Ishaq al-Isfarayani. Ketiga, Madrasah Nidhâmiyah yang diprakarsai oleh penguasa, dipandang sebagai kemunculan istilah madrasah dalam sejarah pendidikan Islam, lebih menunjukkan pengakuan secara resmi (legalitas) dari pemerintahan Islam sebagai penguasa. Pengakuan tersebut disertai dengan mendirikan madrasah sebagai lembaga pendidikan resmi (state institution).

Madrasah di Indonesia.
Eksistensi madrasah dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia tergolong fenomena modern yang dimulai sekitar awal abad ke-20. Buku-buku tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia sejauh ini tidak menginformasikan adanya lembaga pendidikan yang disebut madrasah pada awal penyebaran Islam di ke bumi nusantara ini.
Sebelum nama madrasah muncul, ada beberapa tempat yang digunakan masyarakat muslim Indonesia sebagai tempat pendidikan, di antaranya masjid yang berfungsi ganda sebagai tempat ibadah dan aktifitas sosial keagamaan lainnya termasuk pendidikan. Selain itu juga dijumpai rumah-rumah tokoh masyarakat, ulama, kyai dan guru ngaji yang dijadikan pengajaran agama Islam. Nama lain yang lebih spesifik dan menunjukkan tempat pendidikan Islam di nusantara antara lain adalah meunasah yaitu tempat belajar al-Qur’an, do’a, salat dan tempat belajar agama bagi anak-anak/orang dewasa serta untuk salat berjamaah di kampung-kampung masyarakat Aceh. Dan bagi masyarakat Jawa dikenal dengan langgar atau tajug dan di tempat lain disebut dengan mesegit. Nama-nama tersebut merupakan nama lembaga pendidikan tingkat dasar.
Pendidikan agama pada tingkat lebih tinggi dilaksanakan di rangkang pada masyarakat Aceh, pondok pesantren pada masyarakat Jawa dan pada masyarakat Sumatra Tengah dikenal dengan surau. Kemudian sistem pengajaran tradisional ini mengalami perubahan dengan mengadopsi model Bealnda menjadi pengajaran berkelas, menggunakan bangku, meja kursi, papan tulis dan lainnya.
Dalam perjalanan sejarah pendidikan Islam, yang dicatat telah menggunakan model ini dan menggunakan nama madrasah adalah Syaikh Abdullah Ahmad yang mendirikan Madrasah Adabiyah (1909). Namun, perkembangan selanjutnya nama itu berubah menjadi HIS Adabiyah,
Evolusi kelembagaan pendidikan di Indonesia pada umumnya bermula dari pesantren, madrasah dan sekolah. Madrasah di Indonesia bisa dianggap sebagai kontinyuitas dari lembaga pendidikan pesantren atau surau.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia agaknya memiliki latar belakang sejarahnya sendiri, dan ini dikembalikan kepada situasi awal abad ke-20. Sehingga madrasah di Indonesia bukanlah madrasah seperti pada tradisi pendidikan Islam abad 11-12 di Timur Tengah. Pendidikan model pesantren tampaknya lebih identik dengan madrasah Timur Tengah. Namun demikian ada kemungkinan munculnya madrasah di Indonesia karena pengaruh pembaharuan pendidikan Islam di Timur Tengah kurun modern.
Tumbuhnya sistem madrasah di Indonesia dilatarbelakangi, setidaknya oleh dua hal. Pertama, adalah faktor pembaharuan Islam dan kedua respon terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. kemunculan dan perkembangan madrasah tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam yang diawali oleh sejumlah tokoh intelektual Islam dan kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam baik di Jawa, Sumatera maupun Kalimantan. Pendidikan dipandang sebagai aspek strategis dalam membentuk pandangan keislaman masyarakat. Dalam kenyataannya, pendidikan yang terlalu berorientasi pada ilmu-ilmu agama ubudiyah, sebagaimana ditunjukkan dalam pendidikan di masjid, surau dan pesantren, pandangan keislaman masyarakat agaknya kurang memberikan perhatian kepada masalah-masalah social, politik, ekonomi dan budaya. Karena itu untuk melakukan pembaharuan terhadap pandangan dan tindakan masyarakat itu, langkah strategis yang harus ditempuh adalah memperbaharui sistem pendidikannya.
Di sisi lain bahwa fenomena munculnya sistem pendidikan madrasah juga merupakan respon atas kebijakan dan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada saat itu. Politik Hindia Belanda yakni dengan membuka lebih luas akses pendidikan bagi penduduk pribumi, yang semula hanya terbatas pada kaum bangsawan, di samping merupakan politik etik balas budi, juga merupakan salah satu usaha pemerintah Hindia Belanda untuk menundukkan masyarakat pribumi melalui jalur pendidikan. Menurut Hurgronje sistem pendidikan Barat merupakan sarana yang paling baik untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan Islam di wilayah jajahan Belanda tersebut, karena dalam pertandingan antara Islam melawan daya tarik pendidikan Barat dan penyatuan kebudayaan, Islam pasti kalah. Snouck berargumentasi dengan menunjukkan adanya kecenderungan sekolah-sekolah tipe Belandalah yang dapat menarik murid lebih banyak. Melihat fenomena ini, maka pada awal abad 20 dalam kehidupan pesantren terjadi perubahan penting, yakni dimasukkannya sistem madrasah/sistem klasikal ke dalam pesantren. Dengan kata lain, madrasah dalam tahap-tahap tertentu merupakan lembaga persekolahan ala Belanda yang diberi muatan keagamaan. Hal ini dianggap sebagai perimbangan terhadap pesatnya pertumbuhan sekolah-sekolah yang memakai sistem pendidikan Barat.
Sebagai lembaga pendidikan yang dilahirkan oleh pesantren, maka madrasah memiliki kesamaan visi. Sistem madrasah yang diperkenalkan oleh pesantren menitikberatkan pada keilmuan agama Islam, di samping pengetahuan umum yang dapat meningkatkan kepekaan sosial dan lingkungan. Keberadaan ini diperkuat lagi dengan sikap non kooperatif para pendirinya terhadap pemerintah kolonial Belanda. Lembaga ini sengaja tidak menelorkan anak didik sebagai tenaga kerja dan birokrat kolonial.
Awal masa kemerdekaan hingga adanya SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No. 3 Tahun 1975, madrasah masih konsisten dengan orientasinya sendiri. Perubahan struktur kemudian mendorong madrasah menyesuaikan diri dengan kebutuhan mendasar yang dipolakan oleh sistem pendidikan nasional. Sebagaimana disebutkan dalam SKB tersebut pada pasal 4; (a) Pengelolaan Madrasah dilaksanakan oleh Menteri Agama; (b) Pembinaan mata pelajaran pada madrasah dilaksanakan oleh Menteri Agama.
Jika semula madrasah hanya mengenal sistem kelas, maka kemudian meningkat dengan sistem manajerial madrasah. Ada komponen kurikulum secara teratur, ketatausahaan yang lengkap dan sebagainya. Bila pada awal kemerdekaan, madrasah menolak campur tangan pemerintah, maka mulai MWB (Madrasah Wajib Belajar) pada tahun 1958/1959, madrasah mengakomodasikan sikap. Subsidi dalam bentuk material mulai diterima. Ia mulai membuka keterlibatan pemerintah dalam dunianya. Guru Agama Negeri–walaupun secara selektif–mulai diterima, bahkan menjadi kebutuhan terutama bagi yang kekurangan tenaga guru.
Ide peningkatan madrasah yang datang dari pemerintah untuk mengubah orientasi pada pola sistem pendidikan mulai diterima, sekurang-kurangnya dipertimbangkan. Kurikulum mulai dibicarakan bentuk dan ragamnya sesuai dengan peningkatan kualitasnya.
Sejak itu, banyak perubahan-perubahan besar di madrasah. Kendatipun demikian, pada saat itu madrasah masih dapat konsisten dengan titik tekan disiplin ilmunya, walaupun dipandang dari sudut prestasi mengalami penurunan, terutama dari segi positif sebagai lembaga yang dapat memproduk ulama dan kyai (ahli agama).
Gambaran di atas memperlihatkan bahwa madrasah mampu menunjukkan daya adaptasi untuk menyerap unsur-unsur inovasi. Lebih dari itu, madrasah mempunyai daya tangkap terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sekelilingnya.

Dinamika dan Problematika
Terbitnya SKB Tiga Menteri tahun 1975 merupakan bagian dari upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan, khususnya di madrasah. Isi SKB tersebut antara lain; pendidikan agama diajarkan di madrasah mencapai 30% dan pendidikan umum 70%. Status madrasah diakui sama-sederajat dengan sekolah umum yang setingkat, sehingga siswa madrasah ibtidaiyah kelas V dapat pindah ke SD kelas V dan begitu pula sebaliknya. Ijazah madrasah juga diakui sederajat dengan sekolah umum yang setingkat.
Konsekuensi dari penerapan SKB tersebut, sejak itu madrasah dituntut mengikuti berbagai perkembangan sosial lebih jauh lagi dan beradaptasi dengan pola hidup masyarakat. SKB merupakan bagian dari bentuk legalisasi dari tuntutan tersebut. Mulailah madrasah menstandarkan kurikulumnya dengan sekolah negeri.
Adanya beberapa perubahan tersebut, menurut Kyai Sahal Mahfudh ikut mempengaruhi wawasan madrasah. Pendidikan di madrasah mulai berimplikasi pada kebutuhan hidup murid dan status sosial mereka di masa mendatang. Ijazah formal madrasah menjadi amat penting dan berpengaruh mengubah pandangan kea rah duniawi. Nilai belajar li wajhillah mulai pudar atau hilang sama sekali, digeser oleh niat lil ijazah. Pandangan priyayiisme yang dulu ditentang oleh madrasah, sekarang justru ditolelir. Penilaian prestasi madrasah diukur secara kuantitatif dengan banyak sedikitnya siswa yang lulus ujian Negara. Komponen pendidikan agama menjadi suatu yang rutin saja. Rasa ketergantungan kepada pihak lain mulai menggeser watak kemandiriannya.
Gambaran di atas menunjukkan adanya perubahan nilai di madrasah. Orientasi dan titik tekan materi pendidikan yang secara essensial menjadi identitasnya semula, menjadi hambar dengan konsekuensi mengubah posisi madrasah menjadi tidak jelas. Akhirnya madrasah di mata para peserta didik yang kritis, kurang mendapat perhatian kecuali kadang-kadang dianggap hanya sebagai tempat pelarian belajar, atau lembaga ‘kelas dua’.
Rendahnya kualitas madrasah sangat berpengaruh terhadap input madrasah itu sendiri. Para siswa yang mempunyai prestasi bagus pada umumnya melanjutkan ke pendidikan umum yang bonafid. Sementara yang prestasinya pas-pasan, melanjutkan ke madrasah jenjang di tingkat atasnya. Demikian pula siswa sekolah umum yang prestasinya bagus “pasti” akan melanjutkan ke lembaga pendidikan umum di tingkat atasnya. Sedang yang prestasinya pas-pasan, karena tidak diterima di negeri, maka memilih ke swasta, mungkin juga ke madrasah. Dengan demikian madrasah selalu berada pada posisi yang kurang menguntungkan, baik dari segi manajemen maupun inputnya.
Munculnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian diikuti regulasi di bawahnya, semakin memperjelas posisi madrasah sama dengan sekolah umum yang berciri khas Islam. Ciri khas ini sebagaimana disebut Zamachsyari dikembangkan melalui tiga bentuk:
“1. Penjabaran mata pelajaran Pendidikan Agama Islam menjadi 5 mata pelajaran, yaitu: Qur’an Hadis, Fiqh, Aqidah Akhlaq, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab. 2. Penciptaan suasana keagamaan, antara lain melalui: a) Suasana kehidupan madrasah yang agamis, b) Adanya sarana ibadah, c) Penggunaan metode pendekatan yang agamis dalam penyajian mata pelajaran yang memungkinkan, dan 3. Kualifikasi guru, antara lain guru madrasah harus beragama Islam dan berakhlaq mulia.”

Dalam praktiknya ciri khas sebagaimana dikemukakan Zamachsyari di atas nampaknya belum memadahi untuk mengangkat madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam. Menurut Azyumardi Azra, ada persoalan berat yang mendesak untuk diselesaikan para pemikir dan praktisi pendidikan Islam, yakni menyangkut “identitas” atau “distingsi” Islam. Menurutnya, distingsi madrasah tidak memadai sama sekali jika hanya terletak pada guru-gurunya yang memulai setiap pelajaran dengan ucapan “Basmalah” dan “Salam”, atau pada adanya musalla atau fasilitas keagamaan lainnya di lingkungan madrasah; sebab semua itu juga sering ditemukan di sekolah-sekolah umum. Karenanya distingsi itu harus dicari dan dirumuskan pada tingkat epistimologis dan juga aksiologis ilmu-ilmu yang diajarkan di madrasah.
Tanpa mampu memecahkan masalah dilematik; antara mempertahankan identitas dan perlunya perubahan, madrasah jelas tidak mampu melakukan kerja pengembangan yang bersifat konsepsional. Masa depan madrasah sangat bergantung pada kemampuan madrasah dalam mengembangkan dirinya sekaligus memecahkan masalah-masalah dilematis di atas.
Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, ada tiga masalah mendasar yang dihadapi madrasah saat ini; (1) Masalah identitas diri madrasah, dalam hubungannya dengan karakteristik dan kemandiriannya terhadap lembaga-lembaga lainnya di masyarakat. (2) Masalah jenis pendidikan yang dipilih sebagai alternatif dasar yang akan dikelola untuk menciptakan satu sistem pendidikan yang masih memiliki titik tekan keagamaan, tetapi pengetahuan umum tetap diberi porsi cukup sebagai basis mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat, dan (3) masalah sumber daya internal yang ada dan pemanfaatannya bagi pengembangan madrasah sendiri di masa esok.
Abdul wahid merangkum beberapa kelemahan madrasah dari acara TOT inservice training KKM MTs/MI Se-Indonesia antara lain: (1) Ketidakjelasan struktur dan tata kerja, terutama terjadinya tumpang tindih antara wewenang yayasan dan pengelola madrasah. (2) Ketidakjelasan Misi, Visi dan tujuan, (3) Lemahnya Manajemen, antara lain: pendanaan terbatas, lemahnya SDM dan minimnya pengetahuan organisasi dan tata kerja. (4) Kurangnya keterlibatan masyarakat. (5) Lemahnya jejaring (networking).
Kelemahan yang dikemukakan di atas pada dasarnya merupakan persoalan madrasah yang berkaitan dengan sumber daya internal madrasah. Tentu saja setiap daerah memiliki karakteristik persoalan yang tidak sama, namun secara umum ini dapat menggambarkan kelemahan-kelemahan umum yang dimiliki madrasah. Identifikasi permasalahan ini penting sebagai langkah evaluasi diri (self assessment) untuk kemudian dicarikan solusi terbaik bagi perberdayaan madrasah.

MADRASAH DAN MOBILITAS KONTES
Pengertian Mobilitas Kontes
Istilah mobilitas kontes merupakan idiom yang terbentuk dari dua kata yakni mobilitas dan kontes. Istilah ini diadopsi dari bahasa Inggris contest mobility. Secara etimologis kata kontes berarti perlombaan. Kata contest dapat juga diartikan to take part in and try to win something atau an event in which people compete against each other for a prize; a competition. Kontes adalah ikut bagian/berpartisipasi dan mencoba memenangkan sesuatu atau sebuah event di mana orang-orang berkompetisi satu dengan lainnya untuk mendapatkan hadiah/penghargaan; kontes juga berarti sebuah kompetisi. Sedangkan kata mobilitas berasal dari kata sifat mobile yang berarti (of people) able to change class, occupation or place of residence easily. Kata mobil artinya mampu mengubah kelas, pekerjaan atau tempat tinggal dengan mudah. Adapun kata mobilitas (mobility) diartikan kesiapsiagaan untuk bergerak atau gerak perubahan yang terjadi di antara warga masyarakat baik secara fisik maupun secara sosial. Jadi secara bahasa mobilitas kontes dapat diartikan gerak perubahan yang berlangsung pada diri orang atau lembaga dalam upaya berpartisipasi dan mencoba memenangkan kompetisi dengan pihak lain.
Ralph H. Turner adalah tokoh yang pertama memunculkan istilah ini. Dalam sebuah artikel hasil penelitian yang diterbitkan tahun 1960. Ia secara terminologis mendefinisikan mobilitas kontes dengan A process whereby higher social status is gained through the personal effort and ability of an individual competing against others in an open contest. Sebuah proses di mana status sosial yang lebih tinggi diperoleh melalui usaha personal dan kemampuan individual bersaing melawan pihak lain dalam sebuah kompetisi yang terbuka.
Mobilitas kontes merujuk kepada sistem mobilitas sosial di mana semua individu dipandang sebagai partisipan dalam sebuah kompetisi yang menjadikan status elit sebagai tujuan akhir dan kompetisinya sendiri berlangsung terbuka. Gagasan ini kadangkala bereferensi pada istilah tournament mobility dan merupakan lawan dari sponsored mobility.
Jika dalam mobilitas kontes upaya untuk memenangkan persaingan muncul dan dibangun dari internal orang atau lembaga, maka dalam sponsored mobility status yang lebih baik diperoleh lewat usaha dan bantuan pihak lain.
Bila mobilitas kontes ini dikaitkan dengan keberadaan madrasah, maka madrasah sebagai lembaga pendidikan dan menjadi bagian dari sistem sosial mau tidak mau, suka tidak suka untuk menjaga eksistensinya pasti terlibat dalam persaingan dengan lembaga pendidikan lain. Dalam mobilitas kontes ini menekankan upaya dari dalam madrasah sendiri untuk memberdayakan dirinya sehingga memiliki daya saing (competitiveness) dan bukan upaya pihak luar dalam meningkatkan daya saing madrasah.
Upaya menuju Madrasah yang Kompetitif
Daya saing madrasah dalam konteks era kekinian merupakan suatu hal yang mutlak. Daya saing ini berkorelasi dengan mutu madrasah, semakin berkualitas dan professional pengelolaan madrasah maka ia akan semakin kompetitif.
Hal pertama yang harus dilakukan oleh madrasah adalah mengenali secara cermat segudang kelemahan dan permasalahan yang membelit madrasah selama ini. Langkah evaluasi diri ini penting untuk dilakukan sehingga dari sini dapat dicari pemecahan konkret.
Pertama, berkaitan dengan masalah identitas dan pilihan jenis pendidikan. Husni Rahim menyatakan bahwa madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam merupakan nilai jual utama. Jika madrasah sudah tidak lagi memperkuat pendidikan agamanya maka ia akan ditinggalkan oleh masyarakatnya. Sejauh ini tamatan madrasah tampak serba tanggung, di satu sisi ilmu agamanya tidak mendalam sementara penguasaan ilmu pengetahuan umumnya juga rendah. Sebenarnya pendidikan madrasah adalah konsep ideal karena adanya keterpaduan dan balance antara ilmu agama dan umum. Madrasah seharusnya betul-betul berorientasi pada kompetensi riil. Karena ada kecenderungan orangtua menyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan yang mampu menjamin penguasaan kompetensi yang spesifik. Kalau masyarakat berpandangan tidak ada yang spesial dengan madrasah maka jangan salahkan jika tak ada yang tertarik. Karena madrasah sendiri tidak mampu menonjolkan daya tariknya yang berbeda dengan sekolah umum lainnya.
Masalah identitas dan pilihan pendidikan ini berkaitan erat dengan kurikulum. Penerapan kurikulum terintegrasi (Integrated Curriculum) yang bersifat adaptif, inklusif dan saintifik harus diterapkan secara penuh tidak hanya setengah hati. Dalam implementasinya harus mendasarkan diri pada belajar yang berpusat pada diri anak (student centered), bersifat life centered (langsung berhubungan dengan aspek kehidupan) yang berorientasi pada kecakapan hidup, dihadapkan pada situasi yang mengandung problem (problem posing), memajukan perkembangan sosial, dan direncanakan bersama antara guru dan murid. Untuk itu harus ada pola hubungan yang dialogis dan kritis. Begitu juga, harus ada penguatan terintegrasi dalam mata pelajaran yang memungkinkan pengembangan sikap kritis siswa, seperti sejarah, filsafat dan bahasa. Dari sini diharapkan lulusan madrasah tidak lagi diragukan kemampuan dan skillnya sehingga bisa bersaing.
Kedua, berkaitan dengan sumber daya internal madrasah. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang patut dicermati. (1). Penerapan manajemen modern. selama ini madrasah terjangkiti wabah lemahnya manajemen. Ciri khas yang ada adalah manajemen “lillahi ta’ala”. Kelemahan manajemen ini juga tampak dari konflik yang sering muncul antara yayasan sebagai “pemilik” dengan pelaksana madrasah. Padahal mereka merupakan SDM yang menjadi mesin penggerak dinamika madrasah. Kesadaran, pengertian, dan pemahaman dan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan perlu ditanamkan. Dimensi ini merupakan bagian dari dimensi lain yang tingkat mutunya bersinergi. Dimensi lain itu adalah ketrampilan manajemen. Hasil yang optimal akan dicapai manakala tercipta sinergi di antara dimensi tersebut.
Manajemen ini juga sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan madrasah (school leadership). Gaya kepemimpinan madrasah sering kali mengadopsi gaya kepemimpinan pesantren di mana kyai merupakan figur sentral yang sangat dominan dan pemegang otoritas tertinggi. Kyai memegang kekuasaan berlandaskan kewibawaan. Implikasinya adalah keharusan loyalitas santri kepada kyai yang bermuara pada keinginan santri untuk menyenangkan kyai. budaya kepemimpinan yang tradisionil dan kolot semestinya mulai dikikis.
Dalam era kekinian kepemimpinan kepala madrasah dituntut untuk bersifat terbuka dalam menjalankan dan mengeluarkan kebijakan yang ada. Dalam era otonomisasi yang harus dimaksimalkan adalah bentuk kepemimpinan yang demokratis. Kepala madrasah haruslah menjadi seorang yang demokrat yang diteladani dalam lingkungan pendidikan. Ia harus megedepankan semangat transparansi, tidak otoriter, serta bertanggung jawab. Seorang kepala madrasah juga harus humanis dengan senantiasa melibatkan sivitas akademika dalam mengambil kebijakan sehingga tercipta iklim dialogis. Selain itu ia juga mempunyai jiwa melayani stakeholder pendidikan lainnya dan mau berbagi tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan masa depan bersama, yaitu transformasi pendidikan menuju arah yang lebih baik dan manusiawi.
2) Up grade kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik. Guru merupakan figur sentral dalam dunia pendidikan. Realitas yang ada menunjukkan separuh lebih guru di madrasah salah tempat (missed match). Belum lagi banyak pula guru yang belum memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap kualitas proses pembelajarannya. Karenanya sangat mendesak untuk meningkatkan kualifikasi dan meminimalisir terjadinya missed match.
(3) Optimalisasi pengembangan potensi siswa. Salah satu kelemahan madrasah adalah rendahnya prestasi siswa. Meski faktor pendukungnya banyak, salah satunya yang cukup menonjol adalah karena pembinaan, bimbingan bakat minat siswa belum diberikan pelayanan yang optimal. Sebagai institusi pelayanan publik semestinya madrasah memberikan pelayanan prima. Sehingga bibit unggul yang dimiliki akan tumbuh dan berkembang secara optimal, tidak justru layu dan bahkan mati.
(4) Perlunya modernisasi madrasah. Perkembangan masyarakat yang semakin modern menuntut madrasah untuk memodernisasi diri. Ini perlu dilakukan agar madrasah tidak ketinggalan jaman yang berakibat akan ditinggalkan masyarakat. Sudah menjadi keprihatinan banyak pihak kalau madrasah selama ini banyak yang berjalan dengan sarana seadanya. Madrasah semestinya mampu mengikuti perkembangan teknologi dengan misalnya mengembangkan smart class berbasis IT (Information Technology). Selain itu juga perlu mengubah paradigma lama menuju paradigma pendidikan modern seperti konsep student center bukan lagi teacher center.
Ketiga, berkaitan dengan lemahnya kerja sama dan hubungan dengan pihak lain yang dibangun madrasah. Menghadapi iklim persaingan yang ketat di era global sekarang ini, mustahil bagi suatu organisasi (termasuk madrasah) bertahan dengan kekuatan sendiri. Membangun kerja sama dan jejaring merupakan suatu keniscayaan yang tak terelakkan.
(1) membangun networking. Ini merupakan suatu usaha atau proses aktif untuk membangun dan mengelola pola kemitraan yang produktif baik antar individu maupun institusi. Selama ini madrasah terkesan berjalan sendiri-sendiri dan kadang saling mematikan. Semestinya madrasah dapat menjalin kemitraan tidak hanya dengan madrasah lain tapi juga dengan stakeholder. Hal ini bisa terwujud kalau madrasah mampu meyakinkan stakeholder dengan mampu menampilkan keunggulan komparatifnya.
(2) membangun kepedulian dan keterlibatan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri jika madrasah dibangun atas prakarsa masyarakat sendiri karena didorong kebutuhan akan lembaga pendidikan. Namun problem yang sering muncul ketika madrasah sudah berdiri, maka keterlibatan aktif masyarakat untuk memikirkan nasib, kelangsungan hidup (apalagi pengembangan dan kemajuan) madrasah relatif kurang. Karena itu perlu kiranya selalu ditumbuhkan sikap proaktif baik dari pengelola maupun masyarakat. Keberadaan lembaga-lembaga seperti Forum Masyarakat Peduli Madrasah (FMPM) atau sejenisnya perlu lebih ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya.

PENUTUP
Simpulan
Era global sekarang ini telah membawa iklim persaingan yang sangat ketat. Keadaan ini pada gilirannya menciptakan mobilitas kontes yakni Sebuah proses di mana status sosial yang lebih tinggi diperoleh melalui usaha personal dan kemampuan individual bersaing melawan pihak lain dalam sebuah kompetisi yang terbuka.
Menghadapi hal itu, madrasah sebagai lembaga pendidikan dan bagian dari sistem sosial mau tidak mau, suka tidak suka untuk menjaga eksistensinya pasti terlibat dalam persaingan dengan lembaga pendidikan lain. Dalam mobilitas kontes ini menekankan upaya dari dalam madrasah sendiri untuk memberdayakan dirinya sehingga memiliki daya saing (competitiveness).
Upaya untuk membangun daya saing itu berangkat dari identifikasi persoalan yang membelit madrasah untuk kemudian dicarikan solusinya. Solusi yang dapat ditawarkan antara lain: (1) merumuskan keunggulan komparatif. (2) Penerapan manajemen modern. (3) Up grade kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik. (4) Optimalisasi pengembangan potensi siswa. (5) modernisasi madrasah. (6) membangun networking, dan (7) membangun kepedulian dan keterlibatan masyarakat.
Penutup.
Demikian makalah sederhana ini kami susun, tentunya banyak terdapat kekurangan dan kelemahan. Untuk itu saran, masukan dan kritik konstruktif kami sangat harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.


Meta Kecerdasan: Integrasi Kecerdasan Intelektual, Emosional dan Spiritual

 

 I. PENDAHULUAN

Dalam dekade terakhir, dunia psikologi dan pendidikan dikejutkan oleh berbagai penemuan-penemuan monumental tentang potensi kecerdasan manusia. Pada abad ke dua puluh, kecerdasan intelektual (IQ) sempat menemukan momentumnya sebagai satu-satunya alat untuk ‘menakar’ dan mengukur kecerdasan manusia. Selama bertahun-tahun, kita begitu terpesona dengan penemuan Barat tentang IQ. Bahwa orang yang cerdas adalah mereka yang memiliki nilai intelektual yang tinggi yang dapat diukur secara kuantitatif melalui berbagai tes kecerdasan. For long, the world gave much importance to intelligence quotient, kata Cherian P. Tekkeveettil. Sehingga, saat itu, orang tua dengan begitu bangganya mengatakan : my son has an IQ of 210. He is going to be scientist”.
Namun pada pertengahan 1990-an, Daniel Goleman menunjukkan penemuan barunya, bahwa kecerdasan manusia tidak hanya bisa diukur dengan IQ; ada jenis kecerdasan lain yang lebih penting dari IQ, yaitu EQ (Emotional Quotient).
Baca Selengkapnya
Lebih jauh Goleman mengatakan bahwa EQ is more important than IQ for success in bussiness and relationship. Ia menunjukkan bukti empiris dari penelitiannya bahwa orang-orang yang ber-IQ tinggi tidak menjamin untuk sukses. Sebaliknya, orang yang memiliki EQ, banyak yang menempati posisi kunci di dunia eksekutif. Maka runtuhlah legenda tentang IQ yang pernah bertahta dalam kurun waktu yang cukup lama pada abad kedua puluh.
Belum lagi penemuan Goleman ini terasa tuntas dikaji, Di akhir abad ke-20 (1999-an) Danah Zohar dan Ian Marshall menemukan jenis kecerdasan lain, third intelligence, the ultimate intelligence, yaitu SQ (Spiritual Quotient ) atau SI (Spiritual Intelligence). SQ dipandang sebagai kecerdasan tertinggi manusia, yang dengan sendirinya melampaui segi-segi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ).
Kajian makalah ini akan mencoba mengantarkan kita untuk mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan meta kecerdasan, kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual itu, dan bagaimanakah relasi atau hubungan kerja di antara ketiganya tersebut.
II. META KECERDASAN: INTEGRASI KECERDASAN INTELEKTUAL, EMOSIONAL DAN SPIRITUAL
A. Meta Kecerdasan: Redefinisi Makna Kecerdasan
Istilah meta kecerdasan dibentuk dari kata meta dan kecerdasan. Kata meta sendiri diadopsi dari bahasa yunani μετά yang berarti after (setelah), beyond (melebihi/di luar). Dalam bahasa Inggris kata meta merupakan prefiks yang menunjukkan sebuah konsep yang merupakan abstraksi dari konsep lain yang digunakan untuk melengkapi atau menambah konsep yang telah ada sebelumnya. Jadi istilah meta kecerdasan mengandung pengertian mendefinisikan kembali atau merekonstruksi ulang konsep tentang kecerdasan yang telah mapan sebelumnya dalam jangka waktu relatif lama dengan jalan melengkapi atau menambahkan dengan konsep baru.
Menurut Spearman dan Jones, bahwa ada suatu konsepsi lama tentang kekuatan (Power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia dengan gagasan abstrak yang universal, untuk dijadikan sumber tunggal pengetahuan sejati. Kekuatan demikian dalam bahasa Yunani disebut nous, sedangkan penggunaan kekuatan termaksud disebut noesis. Kedua istilah tersebut kemudian dalam bahasa Latin dikenal sebagai intellectus dan intelligentia, selanjutnya dalam bahasa Inggris masing-masing diterjemahkan sebagai intellect dan intelligence. Transisi bahasa tersebut ternyata membawa perubahan yang mencolok. Intelligence, yang dalam bahasa Indonesia kita sebut inteligensi (kecerdasan), semula berarti penggunaan kekuatan intelektual secara nyata, tetapi kemudian diartikan sebagai suatu kekuatan lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian intelligensi banyak mengalami perubahan, namun selalu mengandung pengertian bahwa intelligensi merupakan kekuatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu. Para ahli psikologi lebih suka memusatkan perhatian pada masalah perilaku inteligen (intelligence behavior), dari pada membicarakan batasan inteligensi. Mereka beranggapan bahwa intelligensi adalah status mental yang tidak memerlukan definisi, sedang perilaku inteligen lebih konkret batasan dan identifikasinya. Di antara cirri-ciri perilaku tersebut adalah (1) adanya kemampuan memahami dan menyelesaikan problem mental dengan cepat, (2) kemampuan mengingat, (3) kreatifitas yang tinggi, dan (4) imajinasi yang berkembang.
Hagenhan dan Oslon mengungkapkan pendapat Piaget tentang kecerdasan yang didefinisikan sebagai suatu tindakan yang menyebabkan terjadinya penghitungan atas kondisi-kondisi yang secara optimal bagi organism dapat hidup berhubungan dengan lingkungan secara efektif.
Feldam mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan memahami dunia, berfikir secara rasional dan menggunakan sumber-sumber secara efektif pada saat dihadapkan dengan tantangan, Sementara itu Wechsler mendefinisikan inteligensi sebagai totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berfikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan dengan efektif.
Masyarakat umum mengenal intelligence sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran, kemampuan berfikir seseorang atau kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi. Persepsi ini tidak bisa dipungkiri, apalagi sejarah telah mencatat bahwa sejak tahun 1904, Binet seorang ahli psikologi berbangsa Perancis telah berhasil membuat suatu alat untuk mengukur kecerdasan, yang disebut dengan intelligence Quotient (IQ).
Sejak saat itu, kecerdasan selalu diartikan sempit, yaitu sebagai kemampuan menyerap, mengolah, mengekspresikan, mengantisipasi dan mengembangkan hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan, ilmu dan teknologi. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa kecerdasan diartikan sebagai kemampuan berfikir. Jadi kecerdasan intelligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rasional. Kemampuan ini diukur dengan pengukuran yang bersifat skolastik meliputi kemampuan logika berfikir dan kemampuan berbahasa. Hasil pengukuran kemampuan inilah yang disebut dengan intelligence quotient (IQ).
Seiring dengan perkembangan pengetahuan, maka ditemukan tipe kecerdasan lainnya melalui penelitian-penelitian empiris dan longitudinal oleh para akademisi dan praktisi psikologi. Setelah 80 tahun IQ diperkenalkan, Gardner, menentang pendapat lama tentang IQ. Ia merumuskan kecerdasan sebagai kemampuan menyelesaikan masalah, atau menciptakan produk mode yang merupakan konsekuensi dalam suasana budaya atau masyarakat tertentu.
Penelitian Gardner telah menguak rumpun kecerdasan manusia yang lebih luas dari pada apa yang dipahami dan diyakini sebelumnya, serta menghasilkan konsep kecerdasan yang sungguh pragmatis dan menyegarkan. Gardner tidak memandang kecerdasan manusia berdasarkan skor tes standar semata, namun Gardner menjelaskan kecerdasan sebagai: (1) kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia; (2) kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan; (3) kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya seseorang.
Kemudian Gardner mengemukakan tujuh kecerdasan dasar, yaitu (1) Kecerdasan Musik (Musical Intelligence); (2) Kecerdasan Gerakan Badan (Bodily Kinesthetic Intelligence); (3) Kecerdasan Logika Matematika (Logical Mathematical Intelligence); (4) Kecerdasan Linguistik (Linguistic Intelligence); (5) Kecerdasan Ruang (Spatial Intelligence); (6) Kecerdasan Antarpribadi (Interpersonal Intelligence); (7) Kecerdasan Intrapribadi (Intrapersonal Intelligence).
Konsepsi Gardner banyak menginspirasi ahli-ahli lain untuk meneliti lebih jauh tentang kecerdasan majemuk ini, sehingga lahirlah tipe-tipe kecerdasan lain yang mungkin belum tercakup dalam kriteria kecerdasan yang dirumuskan oleh Gardner. Dalam kaitan inilah, meta kecerdasan menunjukkan perspektif yang lebih luas tentang makna kecerdasan. Meta kecerdasan dapat diartikan sebagai sebuah konsep untuk memunculkan atau menghadirkan konsep lain dengan jalan menambahkan pada konsep kecerdasan yang lama. Kecerdasan tidak hanya dipandang sebatas kecerdasan intelektual semata, tetapi dengan meta kecerdasan, kecerdasan dikaji sebagai fakta yang beragam adanya. Kecerdasan bersifat multiple.


B. Pemetaan Tiga Paradigma Kecerdasan.
1. Paradigma Kecerdasan Intelektual (IQ)
Selama ini kita hanya diperkenalkan dengan IQ sebagai standar pertama dan utama kecerdasan kita. Semakin tinggi tes IQ kita, pada umumnya kita pun dikatakan memiliki kualitas kecerdasan intelektual yang tinggi dan kemudian kita, untuk mudahnya, dianggap sebagai orang “pintar” dan bahkan “brilian”. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tes IQ kita, semakin rendah pula derajat kecerdasan intelektual kita, dan kemudian kita dicap sebagai orang bodoh.
Dalam paradigma IQ, kecerdasan seseorang ditentukan melalui tes kecerdasan yang populer dengan sebutan School Aptitude Test (SAT). Howard Gardner, ahli psikologi Harvard School of Education, Amerika Serikat mengakui bahwa masa-masa kejayaan tes IQ dimulai sejak Perang Dunia I, saat dua juta pria Amerika dipilih melalui tes IQ pertama secara massal. Tes IQ tersebut baru saja selesai disusun oleh Lewis Terman, seorang ahli psikologi dari Universitas Stanford. Ini mengantarkan kita menuju dekade-dekade yang oleh Gardner disebut sebagai “cara berfikir IQ”: “bahwa orang itu entah cerdas atau tidak terlahir secara demikian; bahwa tak ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengubahnya. Dengan kata lain kecerdasan bersifat taken for granted”.
IQ adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental. Unsur-unsur yang terdapat di dalam IQ adalah kecerdasan numeris, pemahaman verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif,visualisasi ruang, ingatan. Menurut David Wechsler (Staff IQ-EQ), inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Kecerdasan intelektual adalah kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio. Ia merupakan kecerdasan untuk menerima, menyimpan dan mengolah infomasi menjadi fakta. Orang yang kecerdasan intelektualnya baik, baginya tidak ada informasi yang sulit, semuanya dapat disimpan dan diolah, untuk pada waktu yang tepat dan pada saat dibutuhkan diolah dan diinformasikan kembali. Proses menerima , menyimpan, dan mengolah kembali informasi, (baik informasi yang didapat lewat pendengaran, penglihatan atau penciuman) biasa disebut "berfikir". Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas sebagian kecil otak. Kecerdasan intelektual terletak di otak bagian Cortex (kulit otak). Lapisan luar otak (neo-cortex) hanya dimiliki oleh manusia, tidak dimiliki oleh makhluk lain. Otak adalah organ luar biasa dalam diri manusia. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 %.
Model kecerdasan IQ banyak diilustrasikan dengan komputer yang memiliki tingkat “IQ” yang tinggi, karena dapat beroperasi dengan cepat, hampir tanpa kesalahan sama sekali. Kualitas (otak) kecerdasan manusia yang memiliki tingkat IQ yang tinggi seringkali diumpamakan dengan tingkat kecanggihan “kecerdasan” komputer. Tentu saja harus diakui bahwa otak manusia jelas jauh lebih kompleks dibandingkan dengan komputer. Otak tersusun dari daging dan darah, sementara komputer dibuat dari cip silikon. Otak dapat difungsikan untuk berfikir secara rasional, sementara komputer difungsikan sebagai mesin berfikir secara mekanistis.
2. Paradigma Kecerdasan Emosional (EQ)
Paradigma kecerdasan intelektual (IQ) sebagai satu-satunya parameter kecerdasan manusia runtuh tatkala fakta empiris dari temuan riset berbicara lain. Sejak dipublikasikannya Emotional Intelligence (EQ) tahun 1995, temuan riset terbaru Goleman yang mengagumkan berhasil menjungkirbalikkan mitos selama ini. Risetnya menunjukkan bagaimana banyak orang-orang yang ber-IQ tinggi gagal dan orang-orang yang ber-IQ sedang-sedang justru menjadi sukses. Pasti ada faktor lain untuk menjadi cerdas, yang kemudian dipopulerkan oleh Goleman dengan kecerdasan emosional (EQ). Goleman berkesimpulan bahwa setinggi-tingginya IQ hanya menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, sementara yang 80 persen diisi oleh faktor-faktor kecerdasan lain yang disebutnya sebagai kecerdasan emosional.
Memang agak sedikit aneh dan menjadi pertanyaan besar, bagaimana membawa kecerdasan pada emosi? atau sebaliknya bagaimana membawa emosi ke wilayah kecerdasan. Fakta selama ini sering berbicara lain, emosi kerap kali membawa kita pada sikap amarah. Padahal amarah itu sendiri lazimnya menjerumuskan kita pada sikap tak terpuji. Sebenarnya, dengan paradigma kecerdasan emosional (EQ), emosi kita hendak dikenali, disadari, dikelola, dimotivasi, dan bahkan diarahkan pada kecerdasan.
Emosi adalah persepsi perubahan jasmaniah yang terjadi dalam memberikan tanggapan (respons) terhadap suatu peristiwa. Kata Emosi secara sederhana bisa didefinisikan sebagai menerapkan “gerakan” baik secara metafora maupun harfiyah, untuk mengeluarkan perasaan. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Emosi sejak lama dianggap memiliki kedalaman dan kekuatan sehingga dalam bahasa latin, emosi dijelaskan sebagai motus anima yang arti harfiyahnya “jiwa yang menggerakkan kita”. Berlawanan dengan kebanyakan pemikiran konvensional, menurut Cooper dan Sawaf, emosi bukan sesuatu yang bersifat positif atau negatif, tetapi emosi berlaku sebagai sumber energi autentisitas, dan semangat manusia yang paling kuat dan dapat menjadi sumber kebijakan intuitif. Dengan kata lain, emosi tidak lagi dianggap sebagai penghambat dalam hidup kita, melainkan sebagai sumber kecerdasan, kepekaan, kedermawanan, bahkan kebijaksanaan.
Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir; berempati dan berdo’a.
Menurut Saphiro, istilah kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh dua orang ahli, yaitu Peter Salovey dan John Mayer untuk menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang dianggap penting untuk mencapai keberhasilan. Jenis-jenis kualitas emosi yang dimaksudkan antara lain: (1) empati, (2) mengungkapkan dan memahami perasaan, (3) mengendalikan amarah, (4) kemampuan kemandirian, (5) kemampuan menyesuaikan diri, (6) diskusi, (7) kemampuan memecahkan masalah antarpribadi, (8) ketekunan, (9) kesetiakawanan, (10) keramahan, dan (11) sikap hormat.
Teori lain dikemukakan oleh Reuven Bar-On, sebagaimana dikutip oleh Steven J. Stein dan Howard E. Book, ia menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan nonkognitif yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Selanjutnya, Steven J. Stein dan Howard E. Book menjelaskan pendapat Peter Salovey dan John Mayer, pencipta istilah kecerdasan emosional, bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.
Keterampilan kecerdasan emosi bekerja secara sinergi dengan keterampilan kognitif, orang-orang yang berprestasi tinggi memiliki keduanya. Makin kompleks pekerjaan, makin penting kecerdasan emosi. Emosi yang lepas kendali dapat membuat orang pandai menjadi bodoh. Tanpa kecerdasan emosi, orang tidak akan mampu menggunakan kemampuan kognitif mereka sesuai dengan potensi yang maksimum.
Kecerdasan emosional bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih, tetapi dari pekerjaan hati manusia. Emotional Intelligence bukanlah trik-trik tentang penjualan atau menata sebuah ruangan, dan bukan tentang memakai topeng kemunafikan atau psikologi untuk mengendalikan, mengeksploitasi, atau memanipulasi seseorang.
Berbeda dari IQ yang merupakan faktor genetik sehingga tidak dapat berubah dan dibawa sejak lahir, EQ dapat disempurnakan dengan kesungguhan, pelatihan, pengetahuan, dan kemauan.
Goleman menjelaskan pendapat Salovey yang menempatkan kecerdasan pribadi Gardner sebagai dasar dalam mendefinisikan kecerdasan emosional yang dicetuskannya. Dalam hal ini Salovey memperluas kemampuan kecerdasan emosional menjadi lima wilayah utama, yaitu sebagai berikut:
a. Mengenali emosi diri. Intinya adalah kesadaran diri, yaitu mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Ini merupakan dasar kecerdasan emosional. Kesadaran diri adalah perhatian terus-menerus terhadap keadaan batin seseorang.
b. Mengelola Emosi. Yaitu menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas. Kecakapan ini bergantung pula pada kesadaran diri. Mengelola emosi berhubungan dengan kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan, dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan emosional dasar.
c. Memotivasi diri sendiri. Termasuk dalam hal ini adalah kemampuan menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi, begitu juga kemampuan untuk pengendalian diri.
d. Mengenali emosi orang lain. Kemampuan empati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, ikut berperan dalam pergulatan dalam arena kehidupan.
e. Membina hubungan. Seni membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola orang lain. Keterampilan ini menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi.

Sementara itu, Steven J. Stein dan Howard E. Book menjelaskan penemuan Reuven Bar-On yang merangkum kecerdasan emosional dan dibaginya ke dalam lima area atau ranah yang menyeluruh, dan 15 subbagian atau skala. Kelima ranah kecerdasan tersebut, yaitu (1) ranah intrapribadi, meliputi: kesadaran diri, sikap asertif, kemandirian, penghargaan diri, dan aktualisasi diri; (2) ranah antarpribadi, meliputi: empati, tanggung jawab sosial, hubungan antarpribadi; (3) ranah penyesuaian diri, mencakup: Uji realitas, sikap fleksibel dan pemecahan masalah; (4) ranah pengendalian stress, meliputi: ketahanan menanggung stress,dan pengendalian impuls; (5) ranah suasana hati umum, terdiri dari: optimisme, kebahagiaan.
Dalam bahasa agama , EQ adalah kepiawaian menjalin "hablun min al-nās". Pusat dari EQ adalah "qalbu". Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubah sesuatu yang dipikirkan menjadi sesuatu yang dijalani. Hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh otak. Hati adalah sumber keberanian dan semangat , integritas dan komitmen. Hati merupakan sumber energi dan perasaan terdalam yang memberi dorongan untuk belajar, menciptakan kerja sama, memimpin dan melayani.

3. Paradigma Kecerdasan Spiritual (SQ).
Wacana kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) merupakan temuan paling mutakhir di antara jenis Quotient yang lain. Kecerdasan ini pertama kali digagas oleh Danar Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University. SQ mulai populer pada awal abad 21 melalui tulisan Danar Zohar dalam bukunya Spiritual Capital dan berbagai tulisan lainnya.
Kecerdasan spiritual diyakini sebagai kecerdasan yang paling utama dibandingkan dengan berbagai jenis kecerdasan yang lain. Kata spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh atau jiwa. Kata ini berasal dari bahasa Latin, spiritus, yang berarti napas. Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan yang membuat manusia dapat hidup, bernapas dan bergerak. Spiritual berarti pula segala sesuatu di luar fisik, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter kita.
Kecerdasan spiritual berarti kemampuan seseorang untuk dapat mengenal dan memahami diri seseorang sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti bisa memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani dan ke manakah kita akan pergi.
Dalam beberapa bagian bukunya Zohar dan Marshal mencoba menyoroti hubungan antara agama dan SQ. Pada umumnya orang beranggapan bahwa SQ selalu berhubungan dengan agama. Menurut keduanya, SQ berbeda dengan agama. Agama merupakan aturan-aturan dari luar sedangkan SQ adalah kemampuan internal. Sesuatu yang menyentuh dan membimbing manusia dari dalam. SQ mampu menghubungkan manusia dengan ruh esensi di belakang semua agama. Orang yang SQ-nya tinggi tidak picik dan fanatik atau penuh prasangka dalam beragama.
Pengertian spiritualitas yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshall tidak selalu mengkaitkan dengan masalah ketuhanan, sebab menurut mereka seorang yang humanis ataupun atheis pun dapat memiliki spiritualitas tinggi. Bagi mereka, kecerdasan spiritual lebih banyak terkait dengan masalah makna hidup, nilai-nilai dan keutuhan diri. Kesemuanya tidak perlu berkait dengan masalah ketuhanan. Orang dapat menemukan makna hidup dari bekerja, belajar, berkarya bahkan ketika menghadapi problematika dan penderitaan. Di sini tampak bahwa Zohar dan Marshall menempatkan agama hanya sebagai salah satu cara mendapatkan SQ tinggi. Pemahaman spiritualitas yang semacam ini tentu banyak mendapat koreksi dan kritikan dari ahli lain.
Zohar dan Marshall mengikutsertakan aspek konteks nilai sebagai suatu bagian dari proses berpikir/berkecerdasan dalam hidup yang bermakna, untuk ini mereka mempergunakan istilah kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yakni kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah- langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya menggapai kualitas hanif dan ikhlas . SQ adalah suara hati Ilahiyah yang memotivasi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat.
Dr. Marsha Sinetar, yang terkenal luas sebagai pendidik, pengusaha dan penulis buku-buku best seller, menafsirkan kecerdasan spiritual sebagai pemikiran yang terilhami. Kecerdasan spiritual adalah cahaya, ciuman kehidupan yang membangunkan keindahan tidur kita. Kecerdasan spiritual membangunkan orang-orang dari segala usia, dalam segala situasi.
Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot atau God Module dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam.
Menurut Roberts A. Emmons dalam buku The Psychology of Ultimate Concerns, ada lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual yaitu kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk berbuat baik. Menurut Emmons, dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual.
Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Dia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Dia merujuk pada warisan spiritual seperti teks-teks Kitab Suci untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi.
Orang yang ber SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif. Manusia yang memiliki SQ tinggi cenderung akan lebih bertahan hidup dari pada orang yang ber SQ rendah. Banyak kejadian-kejadian bunuh diri karena masalah yang sepele, mereka yang demikian itu tidak bisa memberi makna yang positif sari setiap kejadian yang mereka alami dengan kata lain SQ atau kecerdasan spiritual mereka sangat rendah.


C. Keterkaitan dan Hubungan Kerja antara IQ, EQ dan SQ
Setelah memetakan tiga paradigma kecerdasan, yakni kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), berikutnya akan coba dibahas konstruksi atau pola relasi diantara ketiganya. Pola relasi ini mengandaikan terjadinya relasi positif antara IQ, EQ dan SQ, meskipun tetap mengakui adanya diferensiasi.
Sadar atau tidak, potensi kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual itu ada dalam keseluruhan diri kita sebagai manusia. Kecerdasan intelektual mencakup unsur logis (matematika) dan linguistik (verbal atau bahasa). Kecerdasan emotional mencangkup unsur interpersonal dan intrapersonal. Sementara kecerdasan spiritual adalah bagaimana mengkhayati dan mengabdikan diri –beribadah- kepada khalik (sang pencipta).
Ketiga tipe kecerdasan tersebut akan berfungsi maksimal jika saling berkaitan erat satu sama lain. Menurut Ary Ginanjar Agustian, Semua potensi kecerdasan itu akan terintegrasi apabila orientasi hidup kita adalah ketauhidan, menerima Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup. Namun jika orientasi hidup kita adalah materi, maka tiga potensi kecerdasan tersebut akan terpisah.
Selanjutnya ia menjelaskan, jika kita berorientasi pada materi, saat masalah datang pada kita, radar hati akan bereaksi menangkap sinyal emosi yang tidak terkendali, dan muncul rasa marah, sedih, kesal dan takut. Akibat emosi yang tidak terkendali god spot menjadi terbelenggu dan suara hati ilahiyah tidak memiliki peluang untuk muncul dan didengar, sehingga suara hati yang bersifat mulia itu (SQ) tidak mampu berkolaborasi dengan kecerdasan lainnya (EQ dan IQ). Saat suara hati tertutup, emosi akan memerang peranan. Emosilah yang akan memberi perintah pada kecerdasan intelektual. IQ selanjutnya akan menghitung, tapi berdasarkan dorongan kemarahan, kekecewaan, kesedihan, iri hati dan kedengkian. Yang terjadi kemudian adalah kekacauan dan masalah tidak mampu dicari solusinya.
Berbeda halnya ketika orientasi kita kepada ketauhidan. ketika masalah atau tantangan muncul, radar hati langsung menangkap getaran sinyal. Ketika sinyal itu menyentuh dinding tauhid, kesadaran tauhid akan mengendalikan emosi. Hasilnya adalah emosi yang terkendali seperti rasa tenang. Dengan emosi yang terkendali, God Spot akan terbuka dan bisa bekerja. Maka terdengarlah bisikan-bisikan ilahiyah yang mengajak kepada sifat-sifat keadilan, kasih-sayang, kejujuran, kepedulian dan lainnya. Dengan dorongan sifat mulia itu, potensi kecerdasan intelektual bekerja optimal, dengan melakukan perhitungan yang berlandaskan pada nilai-nilai mulia suara hati. Inilah yang disebut dengan meta kecerdasan, yaitu integrasi EQ, IQ dan SQ.
Ketauhidan mampu menstabilkan tekanan amygdala (sistem saraf pusat), sehingga emosi terkendali (EQ tinggi). Emosi yang terkendali akan mengoptimalkan fungsi kerja God Spot pada lobus temporal, serta mengeluarkan potensi suara hati ilahiyah. Suara hati ilahiyah itu member informasi penting sehingga manusia mampu menghasilkan keputusan sesuai garis orbit spiritualitas (SQ tinggi). Maka langkah konkret mampu diambil, berupa perhitungan logis (IQ), yang bergerak pada manzilah, atau garis edar yang mengorbit pada Allah Yang Maha Esa (SQ).
Dalam perspektif neuroscience Ketiga bentuk kecerdasan ini (IQ, EQ, dan SQ), mempunyai akar-akar neurobiologis di otak manusia. Fakta menyatakan bahwa otak menyediakan komponen anatomisnya untuk aspek rasional (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Ini artinya secara kodrati, manusia telah disiapkan dengan tiga aspek tersebut. Kecerdasan emosional ada di sistem limbik, alias otak dalam, yang terdiri dari thalamus, hypothalamus dan hippocampus. Kecerdasan intelektual ada di korteks serebrum atau otak besar. Sedangkan kecerdasan spiritual mempunyai dasar neurofisiologis pada osilasi frekuensi gamma 40 Hertz yang bersumber pada integrasi sensasi-sensasi menjadi persepsi obyek-obyek dalam pikiran manusia.
Dalam perspektif Islam, dikenal istilah aql, qalb dan fuad sebagai pusat IQ , EQ dan SQ menunjukkan bahwa Islam memberikan apresiasi yang sama terhadap ketiga sistem kecerdasan tersebut. Hubungan ketiganya dapat dikatakan saling membutuhkan dan melengkapi . Namun kalau akan dibedakan, maka SQ merupakan "Prima Causa" dari IQ dan EQ. SQ mengajarkan interaksi manusia dengan al-Khaliq , sementara IQ dan EQ mengajarkan interaksi manusia dengan dirinya dan alam di sekitarnya. Tanpa ketiganya bekerja proporsional, maka manusia tidak akan dapat menggapai statusnya sebagai "Khalifah" di muka bumi. Oleh karena Islam memberikan penekanan yang sama terhadap "hablun min Allāh" dan "hablun min al-nās", maka dapat diyakini bahwa keseimbangan IQ, EQ dan SQ merupakan substansi dari ajaran Islam. Penggabungan ketiga hal ini akan menghasilkan manusia-manusia paripurna yang siap menghadapi hidup dan menghasilkan efek kesuksesan atas apa yang dilakukannya.
IQ, EQ & SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconnected) di dalam diri kita, sehingga tidak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan orang lain tetap membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan yang tetap membutuhkan otak dan perasaan. mengabaikan salah satu dari ketiga bentuk kecerdasan berbasis neuroscience di atas adalah sesuatu kekeliruan, demikian juga jika mengagungkan salah satu diantaranya merupakan kesalahan. Pentingnya keseimbangan ketiga kecerdasan ini untuk menjadi seorang yang paripurna .
Penggabungan antara kecerdasan spiritual dengan kecerdasan intelektual dalam berbagai hal akan melahirkan “idealisme” dalam diri yang dalam konstektualnya lebih benyak membentuk wilayah-wilayah individual (catra pribadi). Sedangkan penggabungan antara ketiga kecerdasan tersebut yakni intelektual-spiritual dan emosional memunculkan tipe-tipe kecerdasan baru hingga pencapaian kecerdasan dialektis.
III. PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat kami tarik beberapa simpulan sebagai berikut:
1. Meta kecerdasan adalah konsep kecerdasan dengan perspektif majemuk. Kecerdasan tidak hanya ditakar dari kecerdasan intelektualnya IQ) saja, tetapi bahwa manusia ternyata juga memiliki potensi kecerdasan lain yang bahkan lebih penting yaitu kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
2. Kecerdasan intelektual (IQ) adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Sedangkan Kecerdasan emosi (EQ) merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir; berempati dan berdo’a. Adapun Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yakni kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah- langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya menggapai kualitas hanif dan ikhlas.
3. IQ, EQ & SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconected) di dalam diri kita, sehingga tidak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi, karena ia bisa menjembatani dan lebih memfungsikan dua kecerdasan lain yaitu IQ dan EQ secara lebih efektif. Hubungan ketiganya dapat dikatakan saling membutuhkan dan melengkapi. Namun jika hendak dibedakan, maka SQ merupakan prima causa dari IQ dan EQ. Kecerdasan spiritual mengajarkan interaksi manusia dengan al-Khaliq, sementara IQ dan EQ mengajarkan interaksi manusia dengan dirinya dan alam sekitarnya.
B. Penutup
Demikian makalah sederhana ini kami susun, tentunya banyak terdapat kekurangan dan kelemahan. Untuk itu saran, masukan dan kritik konstruktif kami sangat harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

Mewujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua

 
Secara yuridis normatif Negara telah memberikan garansi terpenuhinya hak-hak setiap warganya untuk memperoleh pendidikan yang bermutu serta kesempatan meningkatkan pendidikannya sepanjang hayat (pasal 5 UU No. 20 tahun 2003). Karena itu kepada pemerintah sebagai pengemban amanat konstitusi, undang-undang mewajibkan untuk memberikan layanan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa deskriminasi.
Baca Selengkapnya

Ketentuan yuridis boleh memberikan jaminan akses pendidikan yang bermutu, tetapi realitas fakta di lapangan akan berkata lain. Pendidikan bermutu belumlah dapat dinikmati mayoritas warga Negara artinya hanya mereka yang mampu secara finansial saja yang dapat mengenyam pendidikan berkualitas dengan layanan prima. Sedangkan Mayoritas warga masih berkutat pada persoalan rendahnya akses pendidikan bahkan untuk tingkat dasar sekalipun. Tidak berlebihan kiranya ketika Eko Prasetyo menulis sebuah buku berjudul orang miskin dilarang sekolah karena hal ini memang berangkat dari fakta bahwa peluang akses pendidikan bagi orang-orang miskin memang sangat berat atau bahkan tertutup sama sekali.

Pemerintah sudah barang tentu tidak tinggal diam, berbagai upaya telah ditempuh dan layak untuk diapresiasi. Ada tiga strategi pokok pembangunan pendidikan yang telah diupayakan meliputi peningkatan kualitas pendidikan, pemerataan kesempatan dan akses pendidikan serta peningkatan relevansi dan efisiensi pendidikan. Melalui penggelontoran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), angka partisipasi pendidikan setidaknya untuk tingkat dasar meningkat secara signifikan. Demikian juga program Bantuan Siswa Miskin (BSM) sangat dirasakan manfaatnya. Namun demikian mengingat kompleksitas dan spektrum dunia pendidikan di Indonesia yang teramat luas, upaya pemerintah tersebut terasa belum optimal. Jangankan berbicara pendidikan yang bermutu, sekedar memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) pendidikan saja, banyak institusi pendidikan yang masih terseok-seok. Alih-alih mendongkrak mutu pendidikan justru efek negatif yang diraih berupa munculnya komersialisasi pendidikan. Pengaruh global dimana pendidikan telah menjadi salah satu komoditas yang diperjualbelikan juga tidak dapat nafi’kan. Perdagangan bebas telah mengarahkan pendidikan menuju kapitalisasi dan industrialisasi. Hal ini pada gilirannya memunculkan komersialisasi pendidikan. Akibatnya biaya pendidikan meroket di luar jangkauan orang kebanyakan.

Pertanyaan yang mengemuka adalah benarkah pendidikan yang berkualitas selalu mahal? Lantas bagaimanakah nasib orang-orang miskin? Dapatkah mereka mendapatkan pendidikan yang bermutu dan terjangkau? Pendidikan yang bermutu atau yang berkualitas pada dasarnya adalah pendidikan yang secara efektif mampu menghantarkan peserta didiknya mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan yang berorientasi kepada tujuan ini tentu tidak selamanya harus mahal. Meskipun memang tidak sepenuhnya salah bahwa untuk meningkatkan mutu dibutuhkan biaya besar karena fasilitas dan piranti yang mendukung kualitas pendidikan memang tidak murah. Sebagai gambaran untuk menjamin terpenuhinya standar pelayanan minimal pendidikan yang meliputi 8 standar pendidikan dibutuhkan modal yang tidak sedikit.

Krisis komersialisasi pendidikan pun tampaknya tak terhindarkan. Namun masih dapat diupayakan tindakan nyata untuk mengurangi dampaknya. Disini sebenarnya letak tanggung jawab Negara dalam hal ini adalah pemerintah. Pemerintah memang tidak mungkin dapat mengatasi persoalan pendidikan sendirian. Namun sebagai regulator dan protektor banyak hal yang bisa diharapkan dari pemerintah. Dunia pendidikan jangan dibiarkan lepas sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar kapitalis. Pemerintah harus memproteksi kepentingan akses pendidikan yang bermutu bagi warga negaranya tanpa deskriminasi. Pemerintah juga harus mendorong regulasi agar institusi pendidikan wajib menyediakan tempat dengan porsi yang memadai bagi anak bangsa yang pandai namun berasal dari keluarga tidak mampu.

Tidak kalah pentingnya adalah peran dari swasta dan masyarakat. Perlu ditumbuhkan kesadaran kolektif bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama segenap stake holders. Perusahaan yang selama ini menangguk untung besar perlu merealisasikan Corporate Social Responsibility (CSR)-nya agar diarahkan pada dunia pendidikan berupa beasiswa miskin dan dukungan finansial lain sehingga dapat mengurangi beban biaya pendidikan yang harus ditanggung lembaga.

Dengan sinergi segenap stake holders maka high cost pendidikan yang bermutu akan terasa lebih ringan sehingga slogan pendidikan bermutu untuk semua diharapkan dapat terwujud. 
(M. Syaikhul Alim, S.Ag. M.S.I)